[caption caption="Sumber: pekanbaru.tribunnews.com"][/caption]Cukup mengagetkan bahwa ternyata arah pernyataan tentang Deparpolisasi yang dilontarkan oleh PDIP, pada ujungnya adalah bentuk permintaan pengakuan dari masyarakat bangsa Indonesia, bahwa parpol-lah yang berkontribusi pada kemajuan bangsa. Saya kutip kalimatnya dari kolom pro-kontra Kompasiana, “Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PDI-P DKI Prasetyo Edi Marsudi menyatakan bahwa negara ini dibangun oleh partai politik, bukan oleh relawan”.
Bagi saya, pernyataan ini sama saja dengan mengatakan, “Anak saya tumbuh dewasa oleh karena saya sebagai bapaknya, bukan oleh tetangga.” Lah ya iyalah, karena negara ini menggunakan alat demokrasi sebagai tulang punggung sistem negara. Jika negara ini tidak menggunakan sistem demokrasi, yang MEWAJIBKAN kehadiran parpol dalam pelaksanaanya, maka sudah pasti bukan parpol yang berkontribusi terhadap pembangunan negara.
Sebagaimana JIKA sistem keluarga bukan berdasarkan darah keturunan, pastilah seorang anak, bisa jadi tidak dibesarkan oleh bapaknya, melainkan mungkin tetangganya. Itu semua tergantung kesepakatan dan kepatutan atas sistem yang mau digunakan.
Sehingga dari pernyataan seorang Prasetyo Edi Marsudi tersebut, terdapat unsur pamrih, pengharapan atas balas jasa, pengharapan atas penghormatan masyarakat terhadap hasil pembangunan negara (apakah berhasil?). Jadi beliau ini dengan kata lain, membolehkan mengatakan kepada anak kita, “Sayalah yang membesarkan kamu, bukan tetangga!”, “Supaya kamu sebagai anak harus ingat itu!”, “Itulah jasa saya kepada kamu!”.
Sementara dalam benak saya, mohon maaf jika benak saya masih dangkal, saya masih berproses untuk menuju tidak dangkal. Parpol itu adalah organisasi yang bertujuan mulia, murni, dan tanpa pamrih. Bahkan parpol itu adalah organisasi yang ‘memberi’ bukan ‘mengambil’. Sehingga orang-orang yang aktif dalam parpol adalah orang-orang yang ingin membangun masyarakat dan bangsanya untuk lebih baik lagi dan tanpa pamrih!
Maka dari itu, mereka ini ketika mewakili masyarakatnya untuk duduk sebagai anggota dewan, mereka dikatakan sebagai anggota dewan yang mulia. Kenapa mulia? Karena sumbangsihnya yang tanpa pamrih untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.
Apa tugas seorang ayah? Membesarkan anaknya untuk tumbuh dengan sebaik-baiknya, untuk kemudian memiliki manfaat bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Apakah kita sebagai seorang ayah, mengharapkan pembayaran kembali atas jasa membesarkan anak? Apa yang diharapkan dari seorang anak kita? Bukankah cukup dengan respek mereka kepada kita, yang muncul akibat respek kita kepadanya, serta doa mereka yang mudah-mudahan dijabah Allah SWT sebagai doa anak yang soleh ataupun soleha?
Artinya cukuplah Allah SWT sebagai pembalas atas segala apa yang telah kita lakukan untuk keluarga, masyarakat dan bangsa. Jadi, boleh pamrih, tapi hanya pamrih kepada Sang Maha Pencipta. sehingga mudah-mudahan dengan sikap yang seperti ini, kita tidak mengharapkan apapun dari anak, masyarakat dan bangsa kecuali dari keridhoan Allah SWT semata.
Kembali ke pernyataan di atas, jika pamrih dari masyarakat dan bangsa ini yang diinginkan parpol, maka inilah bibit-bibit, maaf konsesi ataupun komersialisasi! Sehingga keaktifan seseorang di parpol dengan harapan akan mendapatkan keuntungan materil, baik yang bersifat tangibel (harta) ataupun intangible (ketenaran/popularitas).
Semua fenomena yang muncul belakangan ini, dengan mengacu kepada hukum sebab akibat, adalah buah dari apa yang ditanam selama ini. Kemunculan deparpolisasi sebagai buah, adalah akibat dari apa yang ditanam oleh parpol selama ini di masyarakat. Ketika masyarakat menerima dengan baik jalur independen sebagai pilihan, yang notabene sesuai dengan konstitusi, maka menjadi wajib bagi parpol untuk melihat ke dalam/introspeksi. Salahkan diri sendiri dulu sebelum menyalahkan orang lain, dan perbaiki apa yang telah keluar dari jalur idealisme parpol.
Dalam buku ‘Good to Great’, karangan Jim Collins, beliau menyatakan tentang kepemimpinan yang dasari oleh risetnya atas 2000 perusahaan multi-nasional, sebagai berikut:
A leader is the one who looked out the “window” when things went well (to give credit to their team), and looked in the “mirror” when things were not doing so great (in order to take responsibility).
Seorang pemimpin adalah orang yang melihat keluar (window) ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik (dengan memberikan penghargaan/apresiasi kepada yang ‘di luar sana’, yaitu orang lain/tim) dan melihat ke dalam (mirror) ketika segala sesuatunya berjalan dengan tidak baik (dirinya sendiri yang pertama kali disalahkan, dan dia bertanggung jawab dengan cara segera melakukan perbaikan).
Dalam konteks deparpolisasi, dengan mengacu kepada sang guru leadership Jim Collins, wahai partai politik, Andalah yang salah, dan Andalah yang seharusnya bertanggung jawab (looked in the ‘mirror’). Bukan terbalik, dengan menyalahkan orang yang mengambil jalur independen untuk eksistensi politiknya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H