Mohon tunggu...
Teguh S Sungkono
Teguh S Sungkono Mohon Tunggu... Administrasi - in search for excellent

Dalam upaya merealisasikan kepedulian diruang nyata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Serial Kepemudaan-1] Memimpin dengan Prinsip Ataukah dengan Nilai (Value)?

20 Maret 2016   22:34 Diperbarui: 22 Maret 2016   01:47 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: leaders1.com"][/caption]Pada satu forum kecil yang diinisiasi oleh teman-teman mahasiswa di lingkungan Depok dan sekitarnya, muncul pertanyaan mengenai perbedaan atas kata “berprinsip” dan “bernilai”/Value serta penggunaanya dalam ruang lingkup kepemimpinan. Pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya, yang notabene bukanlah seorang ahli filsafat. Ketimbang saya menjawab dengan pemahaman pribadi, akhirnya disepakati untuk menggali bersama saat itu juga dengan metode simpel, yaitu pemaknaan pada definisi, lalu uji sampling pada kasus. Hasilnya disepakati sebagai kesimpulan awal, yang selanjutnya akan terus diperbaharui dengan pengayaan kasus-kasus, dalam rangka mencapai kesimpulan yang lebih mendekat kepada kebenaran.

 Pertama, kita menyepakati untuk mengambil definisi dari KBBI atas kedua kata tersebut. Walau tampaknya belum ditemukan jawaban yang memuaskan, tetapi pembatasan permasalahan sudah dapat terjawab melalui kamus ini.

Kata “berprinsip” berasal dari kata “azas” atau “dasar” (kebenaran yang diyakini), sehingga definisi utuhnya menjadi:  “azas atau dasar yang diyakini kebenarannya”, sebagai rujukan atas keputusan yang diambil. Sementara kata “bernilai” memiliki arti “harga”, dalam konteks ini KBBI mendefinisikannya sebagai berikut: “suatu sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (berharga)”.

Setelah hampir satu jam berkutat dalam definisi dan kedudukan kedua kata tersebut, akhirnya sampailah kami pada kesimpulan sementara yaitu bahwa kedua makna kata tersebut adalah sama-sama mengandung unsur kekuatan yang positif, tetapi dengan kedudukan yang berbeda. Memiliki dasar dalam setiap keputusan adalah cara yang benar dan memang diwajibkan. Sementara kualitas keputusan itu sendiri bergantung kepada nilai-nilai/values yang berhasil ditransformasikan, untuk kemudian dijadikan dasar atas suatu keputusan.

[caption caption="Sumber pribadi"]

[/caption]

Jika dianalogikan, “prinsip” itu ibarat sebuah mangkok dan “nilai” itu ibarat isinya, yang bisa dalam bentuk sup, bubur, atau apapun yang bisa dimakan. Keputusan yang berkualitas adalah bagaikan sup yang menyehatkan, tetapi tanpa kualitas maka bagaikan sup yang tidak menyehatkan. Mangkok bisa berisi sup, tetapi bisa juga tidak. Artinya suatu keputusan bisa bernilai, tetapi bisa juga tidak.

Sup itu baru bisa dimakan setelah adanya mangkok, tanpa itu maka akan berceceran dan tidak dapat dimakan.  Tanpa prinsip maka nilai tersebut tidak akan bisa diterapkan, oleh karenanya memegang nilai-nilai haruslah dengan prinsip. Inilah kesimpulan sementara kami.

Berikutnya, kita tempelkan makna ini dengan kasus. Misalnya apakah perampok memiliki prinsip? Hampir semua orang mengatakan tidak, karena prinsip itu kandungannya positif, sementara tindakan merampok jelas negatif dilihat dari sudut manapun. Pertanyaan berikutnya, jika pimpinan rampok menginstruksikan kepada anak buahnya, “ Kita ambil seluruh isi rumahnya yang berharga, tapi jangan sekali-kali kita memperkosa penghuninya!”. Apakah pimpinan rampok ini berprinsip? Semua terdiam. Apakah bernilai? Semua membisu.

Jika kita masukan kedalam analogi mangkok tadi, maka apakah dasar keputusannya sehingga dilakukan tindakan merampok? jika dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka dasar tersebut dapat dikatakan memenuhi unsur prinsip. Artinya ada mangkok disitu. Bahwa kemudian diambil tindakan merampok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jadilah mangkok itu kosong alias tidak ada nilainya. Kemudian ketika pimpinan perampok mengatakan, “…jangan sekali-kali memperkosa penghuninya”, maka dia sama saja dengan menambahkan penyedap rasa pada mangkok yang tidak ada isinya tersebut.

Tindakan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup itu adalah prinsip yang benar, tetapi sayangnya ketika dilakukan dengan cara yang salah, maka prinsip itu menjadi tidak bernilai. Ditambah penyedap apapun, sesuatu yang tidak bernilai, tidak akan berarti apapun. Sampai disini mulailah teman-teman mahasiswa ini lebih bersemangat, seakan menemukan suatu kunci yang hilang. Walaupun pintu belum terbuka dan dahi masih berkenyit. Mereka berguman,”…eemm.. ternyata tindakan rampok masih dapat dikatakan berprinsip”.

 Kasus kedua, saat Gubernur Ahok menyatakan bahwa alasan pembongkaran Kalijodo adalah untuk mengembalikan fungsinya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sementara calon pesaingnya dalam pemilihan gubernur 2017 nanti, Adhyaksa Dault, mengatakan, “ pembongkaran Kalijodo harus karena alasan prostitusi”. Sama tindakannya, yaitu membongkar Kalijodo, tetapi berbeda dasar keputusannya. Semua peserta diskusi sepakat bahwa keduanya sama-sama berprinsip, namun agak ragu ketika keduanya dinyatakan sama-sama bernilai.

Mangkoknya adalah RTH bagi Ahok, dan prostitusi bagi Adhyaksa. Sementara itu sup-nya adalah sama, yaitu membongkar Kalijodo. Ketika Ahok menyediakan rumah susun bagi warga Kalijodo yang ber-KTP DKI,  maka sudah tidak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan yang dilanggar. Ahok memiliki mangkok, sup, ditambah penyedap (rumah susun sebagai pengganti) dan permasalahannya hanya sebatas Kalijodo saja, tidak melebar.  

Sementara jika menggunakan mangkok Adhyaksa, maka urusannya bukan hanya di kalijodo saja, tetapi meluas hingga seluruh aktivitas prostitusi di DKI yang harus diberantas. Ahok menggunakan rujukan Peraturan Daerah (Perda), sementara Adhyaksa, jika melihat prinsipnya tampak merujuk kepada Peraturan Agama.  

Pembahasan yang lumayan menguras energi dengan teman-teman mahasiswa ini, sungguh pengalaman yang luar biasa. Diskusi ditutup dengan menyepakati kesimpulan sementara yang dituangkan dalam bentuk tag-line, yaitu: Keputusan – Nilai-nilai – Sumber rujukan – Prinsip - Konsekuensi. 

Selanjutnya teman teman mahasiswa dipersilahkan menggunakan tag-line tersebut untuk diaplikasikan pada setiap keputusan yang dibuat, sekecil apapun keputusan itu. Dan pada pertemuan berikutnya akan dibahas dampak keputusan yang telah dibuat dengan frame work tag-line tersebut.

Sepanjang pengalaman saya, sangat sedikit orang-orang yang mau dan bersedia untuk mendalami makna kata-kata yang hadir dalam kehidupannya. Tampaknya ini hal yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang.  Padahal ketika kita salah memaknai, maka akan salah menyimpulkan dan pastinya akan salah menyikapi. Sesuatu yang salah dalam penyikapan, bukan lagi menjadi hal yang bisa dianggap sepele.

 

***

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun