[caption caption="sumber:aku twitter @genypolitical"][/caption]Generasi Y yang lahir antara tahun 1985 sampai dengan tahun 2000 adalah generasi yang tumbuh bersamaaan dengan pesatnya perkembangan arus informasi dan teknologi. Generasi ini memiliki kebiasaan perilaku yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi X (lahir 1964 – 1980) dan baby boomers (lahir 1946-1963).
Kehidupan gen Y ini demikian dinamis, nyaris tanpa sekat birokrasi, hingga  memiliki kemampuan untuk bergerak dengan cepat dan tanpa batasan lokasi ataupun waktu. Ini merupakan salah satu keuntungan yang didapat seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi pada era mereka. Gen Y telah terbukti mampu mendobrak cara kerja generasi sebelum mereka. Dalam mendapatkan uangpun, pada umumnya mereka bisa lakukan dengan tanpa keluar rumah, cukup dengan media sosial, e-dagang dan media pendukung lainnya. Singkatnya, karakter mereka mampu melakukan banyak terobosan dalam berbagai bidang termasuk urusan mata pencaharian mereka.
Yang menarik ketika generasi ini melihat gaya politik yang dilakoni oleh para generasi orang tua mereka, menjadi kuno-lah menurut mereka cara-cara teknik berpolitik seperti itu. Berlomba untuk mendapatkan panggung politik, poles memoles citra yang semu lagi makan waktu, idealisme yang kesasar, motivasi uang yang dominan dan praktis hampir semua aktivitas dilakukan dengan cara-cara konvensional. Sementara gen Y relatif jauh lebih idealis, motif mereka pada umumnya digerakkan oleh passion dan segala aktivitas mereka didukung oleh cara-cara modern.
[caption caption="sumber: www.theatlantic.com"]
Bagi gen Y, Â bekerja adalah passion, teknologi driven, dan selalu mencari jalan pintas untuk mencapai tujuan. Mereka tidak tertarik untuk menggunakan jalan konservatif lagi kuno apalagi dengan idealisme kosong, maka jadilah ini semua sebagai senjata mereka dalam menghadapi permainan politik gen X ataupun baby boomers.
Kemunculan sosok Ahok, yang walaupun beliau adalah gen X, namun gaya kepemimpinanya nyaris menyamai model gen Y, yaitu result oriented, tanpa basa basi, idealisme kuat, dan integritas tinggi walaupun loyalitas masih dipertanyakan. Model ini disukai oleh Gen Y, maka berpadulah kedua gen tersebut dalam diri seorang Ahok. Apapun yang dilakukan oleh Ahok dalam upayanya membangun DKI, dengan dukungan karakter orang-orang gen Y (Teman Ahok), menjadikan semua aktivitas Ahok adalah pencitraan. Keburukan Ahok akan tercitrakan positif, apalagi kebaikannya akan menjadi positif kuadrat.
Disini yang makin menarik, gebrakan ini mampu mencuri hati hampir satu juta KTP pendukung, yang sudah pasti memenuhi syarat konstitusi bagi calon independen. Ini-lah momentum keusangan partai. Sehingga seorang Megawati pun khusus menginisiasi rapat para elit partainya guna membahas ketidakmampuan daya tawar PDIP terhadap model kepemimpinan gen Y yang ada pada sosok seorang Ahok.
Bola deparpolisasi ditendang oleh Megawati ke ruang nasional. Dan menjadikan DPR kalut, bingung, yang pada akhirnya mengambil sikap reaktif, yaitu dengan berupaya merevisi undang-undang Pilkada. Semula dukungan KTP yang dibutuhkan oleh pasangan independen hanyalah 5 – 10 persen dari jumlah pemilih, kini di ‘olah’ untuk bisa menjadi 15 – 25 persen. Inilah de-independenisasi.
Alih-alih partai politik melakukan introspeksi atas deparpolisasi, mereka malah justru bersikap reaktif dengan respon de-independenisasi. Inilah sikap busuk para politikus partai. Ketika undang-undang ataupun konstitusi sudah tidak berpotensi untuk menguntungkan mereka dalam konteks sebagai parpol, maka mereka berupaya untuk merubahnya, guna kepentingan konsesi parpol.
Lantas kenapa DPR bereaksi dengan pernyataan politik Megawati yang hanya pada urusan Pilkada DKI? sementara DPR itu urusannya nasional. Disinilah pertempuran besarnya, jika Ahok berhasil bersama gen Y-nya (Teman Ahok) memenangkan pilkada DKI, lantas apa sulitnya bahwa PILPRES pun dapat dikawal dengan cara – cara yang sama oleh gen Y ini, guna mendobrak politik tradisional parpol!
Sampai kapanpun, baik DPR maupun DPRD akan terus berupaya melakukan de-independenisasi, karena jalur independen ini relatif menyulitkan para teroris APBN/APBD dalam upaya mendapatkan konsesi. Maaf, ini akan membahayakan mata pencaharian.
Namun Ahok sudah berhasil menemukan cara dimana dia mampu mendapatkan anggaran tanpa kesulitan yang berarti, melalui transparansi proses pembahasan anggaran DKI dengan DPRD. Inilah langkah yang sangat cerdas dan berani. DPRD dihadapkan langsung dengan masyarakat atas pengajuan anggaran oleh Ahok, yang notabene akan digunakan untuk kepentingan masyarakat DKI. Cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh pemimpin daerah manapun yang tidak harmonis dengan DPRD-nya.
Sehingga sama sekali tidak ada ketakutan dalam diri Ahok untuk maju melalui jalur independen. Kesulitan jalur independen adalah permasalahan pembahasan anggaran. Semua langkah para pemimpin daerah yang melalui jalur ini akan mendapati ganjalan di penganggaran, dan tentunya akan menyulitkan program kerja pada pemerintahannya. Pada akhirnya walaupun mereka menggunakan jalur independen, tetapi praktik penganggarannya tetaplah praktik konsesi.
Kepemimpinan Ahok telah membuktikan bahwa praktik konsesi ini, tidak berlaku dalam pemerintahannya. ini juga salah satu alasan mengapa banyak partai yang tidak menyukainya, kecuali partai-partai yang menumpanginya dalam rangka pembentukan jati diri atau jati partai.
Ahok telah mampu mengkombinasikan karakter gen X yang ada pada dirinya dengan ketulusan karakter gen Y (Teman Ahok), yang sarat dengan teknologi, semoga kombinasi ini tidaklah berujung pada konsesi. Passionate for idealism bawaan genetik gen Y semoga dapat tetap terjaga, dan jika Parpol masih belum mampu merespon dengan introspektif dan melakukan upaya yang konstruktif untuk kembali kepada idealismenya, bukan tidak mungkin Parpol akan kembali keok oleh gen Y di PILPRES 2019.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H