Mohon tunggu...
Teguh setiawan
Teguh setiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Email: teguhpangerankegelapan@gmail.com

Seluruh tulisan ini saya persembahkan untuk anak saya yaitu Fathan pratama setiawan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Itil Mengi, Kue Tradisional Khas dari Banten

10 Maret 2022   11:46 Diperbarui: 10 Maret 2022   11:53 7357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kue Itil mengi merupakan makanan tradisional yang berasal dari Banten. Tak ada literatur sejarah yang menjelaskan kenapa nama "Itil mengi" digunakan sebagai nama untuk penyebutan makanan tersebut. Nama Itil mengi ini diambil dari bahasa sunda yang berarti alat kemaluan perempuan, saya sendiri tak tahu menahu mengenai awal muasal nama itu tersemat, kenapa alat kemaluan perempuan bisa menjadi nama kue? saya tidak tahu dan saya pun tidak mau berspekulasi terlebih lagi mengambil kesimpulan akan hal tersebut. Biarlah nanti para peneliti sejarah melakukan penelitian lebih lanjut dimasa yang akan datang agar ditemukan informasinya. saya tak akan membahas tentang nama itu, disini saya akan sedikit membahas mengenai kue itil mengi ini.

Saya tahu kue Itil mengi ini dari seorang kerabat bernama Haruna Jaya, ia merupakan warga Kampung Kaloncing Rt 01 Rw 04 desa kadu agung tengah, kecamatan cibadak, Kabupaten lebak, provinsi Banten. Lewat informasi darinya dan saya pun melihat juga mencicipi kue tersebut maka saya mengenal kue ini.

Pria yang akrab dipanggil Harun ini menjelaskan bahwa Kue itil mengi ini merupakan kue khas Banten yang sudah lama dikenal oleh masyarakat. Kue ini juga memiliki panggilan yang lainnya yaitu Rangda Kaudan, namun masyarakat lebih familiar dengan menyebutnya dengan kue Itil Mengi. Kue ini merupakan makanan ringan olahan dari pisang. Makanan tradisional ini selalu disajikan pada acara-acara besar keagamaan seperti Muludan,Rajaban ataupun pengajian di mesjid. Selain itu Kue ini pun selalu tersaji saat acara nikahan maupun sunatan. Dalam setiap hajat-hajat besar kue ini selalu ada menjadi cicipan kuliner yang lezat.

Kue ini berbentuk segitiga dengan presisi yang sama sisi mirip seperti bangunan piramida mesir. Kue berwarna cokelat di bungkus rapi daun pisang. Kue ini memiliki rasa manis karena didalamnya ada pisang dan paduan gula. Kue ini disukai oleh berbagai kalangan, dari orang tua sampai anak-anak.

Cara membuatnya sangat sederhana dan mudah untuk dipraktekan. Bagi anda yang penasaran ingin mencobanya, berikut adalah langkah-langkahnya;

Pertama-tama kita harus menyiapkan buah pisang karena kue ini merupakan makanan olahan pisang. Pisang yang di pakai ialah pisang jenis gejloh, nangka, asem, kepok dan ketan. Semua pisang tersebut biasanya dipakai untuk membuat kue ini. Jangan memilih pisang jenis kelutuk karena pisang jenis ini banyak memiliki biji sehingga susah untuk diolah.

Pisang yang telah ditentukan dipilih untuk diolah, pisang yang dipilih yaitu pisang yang agak berwarna cokelat  karena matang. Langkah selanjutnya yaitu menyiapkan tepung beras,aci, gula merah, gula pasir dan air secukupnya. Kesemua bahan itu kemudian dicampur bersama pisang dan diadon dengan tangan. Pisang diadon sampai hancur halus menyatu dengan tepung beras.

Proses pengadonan dengan tangan ini dalam bahasa sunda disebut "Digaley", setelah adonan merata lalu dibentuk dengan tangan membentuk segitiga piramida, bentuk ini dibuat guna memudahkan dalam membungkus adonan dengan daun pisang. Setelah selesai dibungkus daun pisang secara rapi lalu dikukus sampai matang. Setelah itu baru bisa disajikan untuk dimakan.

Jika anda penasaran silahkan untuk mencobanya di rumah. semua bahan mudah dijumpai, sementara ukuran dan takaran bahan didasarkan pada selera pembuat, jika ingin membuat banyak maka adonan dibuat banyak dan jika ingin membuat kue sedikit maka adonan dibuat secukupnya saja. Semua dilakukan menggunakan perasaan (feeling) karena di kampung-kampung proses memasak atau mengolah makanan dilakukan memakai perasaan dalam membuatnya.Ketika saya bertanya mengenai proses ini pun semua dijelaskan secara umum saja, sedangkan takaran semua berdasarkan perasaan.  Kita bisa belajar dari orang tua-orang tua kita zaman dulu. Demikian informasi singkat ini. Selamat mencoba.[TS]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun