Mohon tunggu...
Putu Teguh Satria Adi
Putu Teguh Satria Adi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Part time traveller and writer // Full time Mechanical Engineering Student // mail: putuh_teguh@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

UN, Ajang Penguji Kepintaran atau Kreativitas Siswa?

13 April 2015   05:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="502" caption="Ilustrasi | aktualpost.com"][/caption] Tidak terasa 3 tahun telah berlalu semenjak saya untuk yang pertama sekaligus terakhir kalinya merasakan suasana mencekam Ujian Nasional SMA. Ah terlalu lebay sih kalau dibilang mencekam karena pada dasarnya ketakutan setiap siswa itu timbul dikarenakan minimnya persiapan. Ya, persiapan yang berlangsung 3 tahun lamanya, namun tingkat kesiapannya hanya diukur dalam 3 hari. Kalau ditelusuri lebih jauh, metode standarisasi atau evaluasi khas pemerintah kita memang sangat bagus secara sistem dan perencanaannya. Namun bagaimana dengan eksekusinya? Jujur saja, bobrok sekali. Sekarang saja saya mendapatkan bocoran jawaban Ujian Nasional yang terdiri dari 5 paket itu. Saya dimana, yang ujian dimana. Tapi begitu lah kenyataannya. Kembali lagi kepermasalahan awal, apa sih tujuan sebenarnya diadakan Ujian Nasional itu? Mengukur kemampuan siswa? Kemampuan apa yang bisa diukur jika kepercayaan terhadap diri sendiri saja kurang. Mengenai hal ini tentunya sudah banyak yang membahas, jadi tidak perlu saya paparkan lagi. Yang saya ingin sampaikan adalah beberapa kelemahan-kelemahan dari Ujian Nasional yang mungkin belum terbaca oleh pemerintah kita. Simpel saja kok, bukan yang ruwet-ruwet. Yang pertama ingin saya bahas mungkin dari "Image" Ujian Nasional itu sendiri. Gambaran yang terbentuk di masyarakat tentang ujian nasional itu ialah bak „Gerbang Masa Depan“. Yang mana kalau kita tidak bisa membuka gerbang itu, kita tak akan pernah bisa mencapai masa depan yang cerah. Nah kalau sudah begini bagaimana siswa tidak takut. Tidak lulus bagi kita bukan lagi tentang tidak siap, melainkan tentang kegagalan besar dalam hidup. Padahal banyak orang-orang yang sukses tanpa mengantongi ijazah SMA. Kedua, tipe soal pilihan ganda. Tipe soal ini sangat dicintai siswa karena Dewi Fortuna ada di dekatnya alias siswa bisa mengandalkan sedikit percobaan peruntungan seperti kancing baju, helai bunga atau sebagainya. Terlepas dari itu, sebenarnya ada celah lebar yang ditawarkan. Celah untuk menggoyahkan idealisme tiap-tiap siswa. Tentunya diperlukan kreativitas tingkat tinggi untuk mendobrak sistem yang sudah tersusun rapi. Disinilah kadang-kadang siswa pintar berprestasi kalah dengan siswa kreatif nan cerdik. Ketiga, jumlah paket. Jangan kira banyaknya jumlah paket akan menutup kemungkinan untuk meminta dan bersedekah. Mungkin jumlah paket akan mempersulit tapi cara itu selalu ada. Semakin banyak paketnya, semakin megah perencanaan siswa, apalagi didukung oleh pihak sekolah. Jalan akan terbuka lebar tentunya.

xxxxxxxx

Sedikit perbandingan, saya ingin bercerita sedikit tentang "Ujian Nasional" versi Jerman yang pernah saya rasakan. Loh kenapa ikut ujian lagi? Ya intinya ijazah yang saya dapatkan di SMA tidak diakui oleh Universitas di Jerman. Oleh karena itu, saya dan siswa-siswa asing lainnya yang benasib sama diwajibkan mengikuti kuliah penyetaraan selama setahun dan diakhiri oleh sebuah ujian. Nah ujian yang ini sangat amat wajar jika dikatakan horor atau mencekam. Kalau tidak percaya, tanya saja mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Jerman yang pernah merasakannya. Ujian yang terdiri dari Matematika, Fisika/Kimia (boleh memilih salah satunya), Bahasa Inggris, dan Bahasa Jerman itu sepenuhnya essay, jadi keberuntungan tidak berlaku disini. Yang paling parah adalah ujian lisan. Kami diharuskan menjawab soal yang diajukan secara lisan dengan keringat dingin penuh ketegangan, ditambah lagi bahasa yang digunakan bukan bahasa ibu kami. Tidak sedikit yang gugur di ujian tersebut. Jumlah soal yang diberikan sebenarnya tidak terlalu banyak, tapi cukuplah untuk meng-cover semua kurikulum yang harus dikuasai. Nah menariknya disini, kami dibolehkan menggunakan kalkulator. Dan lucunya lagi, di ujian Matematika kami malah diberikan jawaban akhir sebagai kontrol. Ketakutan yang membelenggu pun seketika sirna. Oh iya paketnya tidak banyak, cuma ada dua. Tidak lulus bukanlah aib disini. Itu hanya konsekuensi yang harus dihadapi karena minimnya persiapan atau keteledoran. Bahkan teman saya sengaja mengulang satu semester karena merasa diri belum siap. Awalnya saya kaget dengan pernyataan teman saya tersebut. Tapi jika dipikir-pikir ada benarnya. Buat apa memaksakan diri jika memang belum mampu. Kegagalan justru adalah awal dari kebangkitan kita. Pada dasarnya ujian tidak seharusnya membebani siswa dengan hafalan-hafalan yang berat. Siapa sih yang mampu menghafal semua materi dalam 3 tahun. Kalau begini siswa bukan dituntut pintar, tapi kreatif seperti yang saya bilang sebelumnya. Nah ada juga solusi yang ditawarkan tiap tahun, yaitu orang tua yang harus rela mengeluarkan uang lebih untuk membeli buku tambahan yang isinya ringkas dan mencakup semua soal-soal yang akan diujikan. Kalau begini buat apa kita membeli buku-buku selama 3 tahun? Solusi lain yang membebani orang tua lagi yaitu bimbingan belajar tambahan yang memberikan taktik jitu bagaimana menjawab soal ujian dengan cepat dan tepat (tanpa harus mengerti). Kalau begini ikut bimbel aja cukup kan, buat apa sekolah 3 tahun. Bimbel cuma 6 bulan loh. Kesimpulannya, yang semestinya diutamakan adalah kemampuan analisis siswa. Bagaimana siswa tersebut mengerti rumusan permasalahan yang terdapat pada soal, dan dapat mengembangkan pengetahuan yang dimiliki untuk mendapatkan jawaban akhir. Bukan hanya JAWABAN AKHIR saja, tapi CARA BERPIKIR siswa juga harus di nilai. Walau mereka tidak mendapatkan jawaban akhir, setidaknya mereka sudah mencoba mencari caranya sendiri, bukan meminta-minta. Karena sesungguhnya yang penting bukanlah akhir melainkan proses menuju kearahnya. Selain itu paradigma masyarakan umum juga harus dirubah. Jika benar ujian hanyalah evaluasi, kenapa mesti takut atau malu jika gagal. Ujian bukanlah jurang yang mana setelah kita jatuh kedalamnya, kita tak akan pernah mampu naik lagi. Saya berharap agar pemerintah dapat terus berbenah dan mungkin mengadopsi sedikit demi sedikit sistem-sistem yang sudah diterapkan di negara-negara maju, sehingga esensi dari diadakannya ujian itu sendiri dapat tercapai. Salam hangat, Aachen, 12.04.2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun