Kata 'jancuk' biasanya digunakan oleh seseorang dengan niat yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan untuk menyapa, seperti "cok kate nandi? (cok mau kemana?)", "piye kabarmu cok? (bagaimana kabarmu cok?)".
Ada juga yang menggunakannya sebagai kata seruan untuk menyuruh seseorang, seperti "jupukno lading cok! (ambilkan pisau cok!)", "bukakno lawang cok! (bukakan pintu cok!)" dan lain sebagainya.
Meskipun memiliki konotasi buruk kata 'jancuk' menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan untuk meningkatkan rasa kebersamaan.Â
Apalagi seperti daerah Malang, Surabaya dan sekitarnya, kini kata 'jancuk' sudah melekat dan seakan-akan menjadi bahasa keseharian mereka.
Kebanyakan kata 'jancuk' itu menjadi imbuhan yang bisa menambah keakraban seseorang, tergantung dari cara penyampaian orang tersebut.Â
Meskipun tergolong bahasa gaul anak muda, kata tersebut masih terasa tidak pantas untuk digunakan memanggil orang tua karena arti sebenarnya adalah kata kotor.
Tidak ada kata 'jancuk' yang diungkapkan dalam rangka kejahatan. 'Jancuk' merupakan reaksi seseorang terhadap perbuatan kejahatan. Justru dia protes terhadap kejahatan itu.Â
Semua itu dilakukan atau diucapkan lalu muncul sebagai idiom budaya karena kemurnian manusia untuk selalu bereaksi melawan kedzaliman.
Jadi jancukers adalah kumpulan orang-orang yang melawan kedzaliman (Emha Ainun Najib / Cak Nun).
Pada intinya, apabila kita sudah yakin tidak akan menyakiti orang lain ketika berkata 'jancuk', itu tidak akan membawa dampak buruk bagi kita. Justru kebersamaan dan persaudaraan akan terjalin.Â
Orang yang belum terbiasa mendengar kata 'jancuk' juga akan beranggapan bahwa orang yang mengucapkannya adalah orang yang berkata tidak baik dan merasa tidak nyaman ketika ada seseorang yang mengucapkannya.