Saya melangkah dengan agak canggung ke arah meja satpam yang berada di sudut tempat parkir bawah tanah Bandung Creative Hub. Setelah beberapa bulan menjalani Work-From-Home, saya merasa sudah membutuhkan ruang kerja yang lebih tenang agar dapat bekerja dengan lebih fokus. Sempat mempertimbangkan work from cafe, tapi rasanya akan sangat boros bila setiap hari ke cafe. Dari rekomendasi salah satu teman kantor, ada opsi yang jauh lebih bersahabat: co-working space gratis di Bandung Creative Hub.
"Punten, Pak. Kalau co-working space gratis di sini di mana ya?" tanya saya pada bapak satpam.
"Oh, di depan aja paling, di area selasar tangga warna-warni itu," jawabnya, menunjuk ke arah depan. Ia lalu memberikan sebuah potongan kardus kecil berisi nomor yang ternyata berfungsi sebagai tiket parkir gratis saya.
Dari tempat parkir bawah tanah, saya berjalan naik lagi ke depan (tidak menyadari keberadaan lift yang bisa langsung mengantarkan saya ke titik tujuan) dan menemukan area yang dimaksud. Co-working space BCH tidak seperti bayangan saya. Meja-meja dan kursi ditata menempati area terbuka di selasar berundak yang menghubungkan lobi BCH dengan halaman depan. Tak ada AC, air minum gratis, atau layanan pemesanan makanan. Saat pertama kali ke BCH itu, saya dengan lugu meminta air panas dari dispenser air minum di kantor satpam untuk menyeduh kopi.
Walaupun sekilas bukan tempat kerja ternyaman, namun ternyata saya menikmatinya. Sekarang, Bandung Creative Hub sudah menjadi zona nyaman saya setelah kurang lebih 3 bulan bekerja di sini. Dengan keterbatasan fasilitas yang ada, justru membuat saya yang sudah melek dengan isu-isu lingkungan dan gaya hidup berkelanjutan ini benar-benar mempraktekkan apa yang sudah saya pelajari. Saya sadar, sebagai pekerja kreatif di bidang digital marketing, saya banyak menggunakan energi untuk listrik, koneksi internet, dan jajan hahaha. Bagaimana aksi saya saat ini akan menentukan masa depan lingkungan berkelanjutan (sustainable) yang saya impikan.
Bekerja dengan Bijak Menggunakan EnergiÂ
Sebenarnya, saya tidak suka cuaca atau suhu panas. Ketika cuaca Bandung sedang terik-teriknya, rasanya ingin melipir ke dalam kedai kopi terdekat berpendingin udara lalu menyesap secangkir kopi panas. Ternyata, nyaman juga bekerja di ruangan terbuka Bandung Creative Hub tanpa AC. Yah, bisa saya hadapi lah, apalagi ketika ada hembusan angin sepoi yang menyapu ruangan. Beuh, nikmat sekali. Saat panas sudah tak tertahankan, paling saya menghidupkan kipas mini portable saya.
Setidaknya, Bandung Creative Hub menyediakan stopkontak dan koneksi internet gratis.
Untuk kebutuhan air minum, saya membawa 2 tumblr dari rumah. Satu untuk air panas, satu untuk air dingin. Kebetulan, saya memang nggak suka banget membeli air minum kemasan botol plastik. Saya akan merasa bersalah ketika membuang botol plastik bekasnya ke tong sampah, jadi sebisa mungkin saya membawa bekal air minum sendiri. Pas sekali, saya juga punya banyak tumblr yang saya dapatkan secara gratis dari mengikuti beberapa kegiatan bloger.
Urusan makan, sebenarnya ada beberapa penjual gerobak di depan, tapi tidak ada nasi. Opsi paling mending adalah kupat tahu dan mie ayam, tapi masak tiap hari makannya itu terus? Akhirnya, istri saya, Ara, memutuskan untuk membawakan saya bekal makan siang untuk saya bekerja.
Bekal makan siang Ara nggak cuma sekotak nasi dengan lauk pauk yang ditata dengan cantik. Ia juga membawakan camilan (biasanya berupa kue-kue basah atau jajanan pasar), kopi, bahkan buah. Bekal makan siang Ara tak hanya membuat saya merasa ia ikut hadir menemani saya bekerja, namun juga membantu saya menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Coba bayangkan kalau setiap hari saya membeli makan, berapa banyak kantong plastik, kertas, karet, dan sedotan yang saya buang?
Membawa bekal makan sendiri juga berarti meminimalisir makanan sisa yang terbuang. Istri saya sudah tahu betul porsi makan saya, lauk yang saya sukai, citarasa yang saya sukai, sehingga bekal makannya customized untuk saya! Kalau beli makan di luar, kadang karena porsinya kebanyakan atau rasanya nggak cocok, akhirnya ada sisa makanan yang tak dihabiskan. Padahal, sampah sisa makanan Indonesia termasuk salah satu yang terbesar di dunia!
Bagaimana aksi saya saat ini akan menentukan masa depan lingkungan berkelanjutan (sustainable) yang saya impikan.
Gaya Hidup Urban yang Berkelanjutan
Sistem pangan berkelanjutan melibatkan pertanian berkelanjutan, penanggulangan kecukupan gizi, dan mengurangi sampah makanan. Sebagai konsumen, kita dapat mendukung sistem ini dengan mengadopsi pola makan yang sehat dan ramah lingkungan, memperhatikan label pada makanan, menghindari pembuangan makanan, dan mengubah narasi menjadi lebih positif.
Sebagai orang dengan tingkat penerimaan yang tinggi terhadap rasa, biasanya saya nggak menyisakan makanan, jadi akan saya habiskan. Kalau sampai saya nggak bisa menghabiskan, berarti sudah kekenyangan, rasanya sangat tidak enak (sampai saya saja sudah susah memaklumi), atau susah saya makan (seperti: ceker ayam, kepala ikan, dan kepiting). Makanya, sebisa mungkin saya juga menghindari makan makanan seperti itu.Â
Mungkin sebagian dari kita belum memahami, bahwa pemilihan menu makan kita sangat berdampak pada lingkungan. Pola makan seimbang tak hanya baik untuk tubuh kita, namun juga untuk bumi. Inilah yang disebut dengan sistem pangan berkelanjutan, alias sustainable food system. Sistem ini menjaga ketahanan pangan dan gizi sedemikian rupa sehingga ekonomi, sosial, dan lingkungan terjaga. Dengan kata lain, sistem pangan berkelanjutan menjaga agar stok makanan bernutrisi tetap tersedia di masa depan untuk generasi mendatang.Â
Ngomong-ngomong selain gaya hidup urban, penggunaan transportasi adalah hal yang lekat selain pola makan. Saya senang bepergian, terutama ke kota-kota di luar sana yang sudah lebih maju dari kota-kota kita. Sebutlah Singapura, Kuala Lumpur, atau Hong Kong. Dari sistem bus yang bisa diandalkan, MRT, LRT, monorel, bahkan trem, ada semua. Jalur bawah tanahnya tak kalah meriah daripada lintasan di atas sana tempat kereta angkasa merayap dengan mantap.Â
Makanya, saya sangat antusias ketika beberapa waktu lalu Bandung menggulirkan wacana dibangunnya LRT Bandung Raya. Ternyata sampai saat ini belum terlaksana, dan Parijs van Java ini belum memiliki moda transportasi umum yang bisa diandalkan. Andai saja ada, saya akan dengan senang hati bepergian di dalam Bandung Raya menggunakan bus kota atau kereta api, seperti yang saya lakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Saya senang konektivitas Jakarta sudah terhubung baik dengan TransJakarta, KRL Commuter Line, MRT Jakarta, LRT Jabodebek, dan LRT Jakarta. Sebagai putra asli Jogja, saya juga senang kampung halaman saya itu sekarang sudah punya TransJogja, KA Bandara, bahkan KRL Commuter Line yang telah dielektrifikasi.Â
Andai pemanfaatan energi berkelanjutan kita sudah berkembang, kita bisa memadukan sistem transportasi dengan energi terbarukan. Jawa barat sendiri patut berbangga, karena memiliki Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata, salah satu yang terbesar di Asia! Baru-baru ini saya membaca tentang kota Utsunomiya di Perfektur Tochigi, Jepang, sebagai salah satu acuan di mana transportasi dan energi terbarukan berkolaborasi. Akhir Agustus 2023 lalu, Utsunomiya mengoperasikan sebuah LRT atau light rail transit yang energi listriknya diproduksi dari panel surya dan tenaga biomassa pusat pengelolaan sampah.Â
Untungnya, jarak rumah saya ke BCH tidak terlalu jauh, hanya 20 menit berkendara dengan sepeda motor. Kalau tempat tinggal saya masih di Jatinangor seperti saat kuliah dulu, saya malah akan pulang-pergi ke BCH naik bus Damri karena rutenya melalui Bandung Creative Hub.
Idealnya, saya memang lebih cocok bekerja di kantor. Namun karena perusahaan saya masih menerapkan sistem kerja Work-From-Home dan saat ini sudah sering merasa susah fokus di rumah karena putri kembar saya sedang aktif-aktifnya di usia 10 bulan, saya perlu mencari alternatif lain untuk mempertahankan performa kerja saya. Ternyata, seru juga bekerja dari co-working space umum yang gratis. Yah, harus ikhlas aja sih kalau kadang nggak dapet tempat yang saya mau bahkan sampai kehabisan kursi karena penuh! Tungguin bentar, nanti juga ada yang kosong. Salah satu tipsnya adalah datang pagi-pagi atau, kebalikannya, datang saat sudah sore bahkan malam hari.
Dengan saya bekerja seperti ini sambil membawa bekal istri, saya sudah melakukan aksi nyata untuk masa depan lingkungan yang berkelanjutan. Saya berhasil menekan emisi yang timbul dari penggunaan pendingin udara, pemakaian listrik, kegiatan memasak, material plastik sekali pakai, dan mengurangi potensi bertambahnya limbah makanan. Dompet aman, lingkungan nyaman untuk visi hidup berkelanjutan. Gaya hidup berkelanjutan bisa banget jadi keseharian kita tanpa harus sengaja melakukan suatu gerakan atau menunggu momen, seperti saya yang bekerja di tempat publik dengan membawa bekal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H