"Ah cuma sedotan plastik gini, kecil, nggak apa-apalah tetep dipake," pernah berpikir seperti ini?
Plastik bisa jadi merupakan material paling favorit di abad ini. Ia ringan, murah, dan kuat sampai batas-batas tertentu. Membawa barang, pakai plastik. Mengemas sesuatu, pakai plastik juga. Dari membeli sarapan di pagi hari, belanja di supermarket, menerima paket belanjaan olshop, semuanya pakai plastik.
Tak heran, jika dunia sedang tenggelam oleh sampah plastik. Di Indonesia sendiri, sebanyak lebih dari 1,2 juta ton plastik berakhir di lautan. Di tahun 2018 saja, ada 16 kg sampah per 100 meter persegi di perairan Laut Pramuka, DKI Jakarta.
Mari Bicara Data tentang Sedotan Plastik
Dari berbagai rupa material plastik itu, sedotan adalah salah satu yang paling sering digunakan, selain tentu saja kantong, botol, dan gelas plastik.
Berdasarkan survey yang dilakukan Divers Clean Action (2018), ada lebih dari 93 juta sampah sedotan plastik per harinya. Ini tahun 2018 dan hanya di 10 kota besar lho. Kalau sekarang, apalagi di masa pandemi dan jika seluruh kota di Indonesia didata, jumlahnya pasti akan jauh lebih banyak!
Jumlah 93 juta ini setara dengan 117.449 km atau sejauh Jakarta ke Meksiko. Bila diakumulasi dalam 1 minggu malah bisa 3 kali mengitari bumi!
Berbeda dengan sebagian sampah plastik lainnya, sedotan plastik butuh waktu ratusan tahun untuk terurai serta bisa menjadi mikroplastik. Karena bentuknya yang panjang, runcing, seringkali sudah terpotong-potong, sampah sedotan plastik jadi melukai atau termakan biota laut. Â Ukurannya yang kecil juga membuat sampah sedotan plastik kadang luput terangkut. Sekitar sepertiga biota laut mati karena sampah plastik setiap tahunnya.
Mengapa Saya Tidak Suka dengan Sedotan Plastik
Di antara seabrek sampah plastik di atas, sedotan adalah salah satu yang menurut saya paling tak berguna.
Pertama, karena kita bisa banget minum tanpa sedotan (kecuali kalau ada sakit atau kelemahan tubuh). Biasanya, kita minum dengan sedotan untuk faktor kenyamanan. Lain halnya dengan sampah plastik lain seperti botol atau kantong plastik. Kita membutuhkannya untuk mengemas sesuatu, terkadang juga digunakan untuk distribusi bantuan kemanusiaan. Tapi sedotan?
Kedua, sedotan susah untuk didaur ulang atau reuse dan recycle. Kalau kita kepul, misalnya, jarang banget ada yang mau menerima karena nilainya yang rendah. Soalnya memang kegunaannya sangat terbatas setelah didaur ulang. Itu juga kalau bisa ya, mengingat sampah sedotan plastik sering banget udah rusak, terpotong-potong, dsb.
Hasil Riset Kecil-Kecilan di Instagram
Saya baru saja melakukan riset kecil-kecilan (atau lebih tepat disebut survey?) kepada teman-teman saya di Instagram Stories. Hasilnya cukup memuaskan, karena sebagian besar isi circle itu sudah satu frekuensi dengan saya.
Sebanyak 52 responden mendukung gerakan mengurangi sampah sedotan plastik, dan hanya 11 yang menjawab "Entahlah" (ini bisa berarti masih ragu-ragu atau memang tidak mau sama sekali). Lebih lanjut, 60 responden menyatakan kesanggupan mengurangi pemakaian sedotan plastik, dan hanya 5 yang tidak menyanggupi. Sayangnya, dari 5 responden itu, hanya 1 orang yang menjawab alasannya (yaitu Ara, istri saya sendiri haha), di mana alasannya itu adalah kegemarannya membeli produk minuman kemasan tertentu.
Plus Minus Material Pengganti Sedotan Plastik
Saya paham banget, dengan disebarkannya fakta ini, tak serta merta membuat semua orang mau dan bisa mengurangi atau menghentikan penggunaan sedotan plastik. Sebagian sedang dalam pemulihan dari sakit, sebagian memiliki kelemahan tubuh/keterbatasan fisik ("sesimpel" gigi sensitif, contohnya), sebagian lagi mungkin hanya enggan karena sudah nyaman.
Jadi, saya memaklumi bila ada sebagian orang yang memang benar-benar membutuhkan bantuan sedotan plastik, meskipun dia sendiri sebenarnya sangat peduli dengan kelestarian lingkungan. Untuk kita yang Puji Tuhan sampai saat ini masih diberikan kesehatan dan kesempurnaan fungsi tubuh, ada beberapa hal sederhana yang bisa mulai kita biasakan.
Akan saya paparkan di bawah, tapi saya mau bahas dulu soal material pengganti sedotan plastik.
Untuk kamu yang berencana mengurangi/menghentikan pemakaian sedotan plastik dengan memiliki sedotan sendiri, ada beberapa produk yang bisa kamu pertimbangkan. Nggak cuma sedotan stainless steel atau logam, tapi juga ada sedotan kaca, sedotan kertas, silikon, dan sedotan bambu. Sayangnya, dilansir dari Tirto, sedotan-sedotan alternatif ini memiliki nilai plus dan minusnya masing-masing.
Sedotan kertas, misalnya, mudah lembek. Sedotan bambu, susah dibersihkan dan mudah berjamur, namun sampahnya bisa menjadi kompos. Sedotan kaca memang ringan dan kuat, namun bisa pecah bila tidak berhati-hati. Sedotan logam yang dirasa paling aman pun bisa menjadi penghantar panas dan menimbulkan aftertaste logam di mulut.
Makanya dengan fakta-fakta di atas, langkah terbaik memang menghentikan penggunaan sedotan sama sekali. Sambil menuju ke arah itu, sesekali menggunakan sedotan logam seharusnya tidak masalah. Saya punya sedotan logam juga, dan sejauh ini nggak ada keluhan yang saya rasakan.
Lalu Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Tidak harus bergabung sebagai anggota komunitas pelestari lingkungan atau menjadi pelopor gerakan penyelematan bumi, ada hal-hal kecil yang bisa kita lakukan sebagai individu kok.
Pertama, ketika sedang makan di cafe/restoran/warung dsb, hindari mengambil sedotan. Terkadang, kamu mungkin perlu buru-buru bilang ke penjualnya sebelum si penjual terlanjur menyajikan minuman es kamu dengan sedotan.
Kedua, ketika memesan makanan/minuman via aplikasi ojol, mulailah berinisiatif menginformasikan kepada pihak tempat makan untuk tidak menyertakan sedotan.
Ketiga, khususnya untuk kamu yang susah lepas dari sedotan, belilah sedotan stainless steel yang bisa kamu bawa ke mana pun dan bisa digunakan berkali-kali.
Peran Korporasi, Produsen, dan Pebisnis
Untuk mendukung kita para konsumen, komitmen ini tentu butuh dukungan dari korporasi dan pemilik/pengelola jasa food and beverage. Beberapa yang bisa dilakukan di antaranya:
- Menghentikan produksi minuman kemasan dengan sedotan, atau sedotan tidak disatukan dengan kemasan minuman
- Membuat sedotan ramah lingkungan, atau memberlakukan mekanisme pengumpulan dan pendaurulangan sedotan plastik yang mereka produksi
- Untuk pengelola dan pebisnis makanan/minuman, inisiatif menanyakan diberi atau tidaknya sedotan plastik kepada pelanggan.
Makanya saya juga lebih suka membeli minuman dalam kemasan botol sih, biar bisa langsung diminum.
Sebagai penutup, saya mau share jawaban beberapa temen saya seputar usaha mereka mengurangi sedotan plastik. Cukup senang, karena sudah banyak yang membiasakan untuk minum langsung dari gelas/botol, membawa sedotan dan/atau alat minum sendiri, mengembalikan sedotan yang diberikan, sampai menghindari jajan di luar sekalian penghematan.
Saya belum sempurna juga kok, terkadang masih menggunakan sedotan plastik karena lupa membawa sedotan sendiri atau lupa titip pesan di aplikasi ojol. Jadi, yuk bantu saya untuk bareng-bareng mengurangi pemakaian sedotan plastik. Kita saling mengingatkan, saling menegur. Temen-temen yang punya concern yang sama, silakan banget membagikan semangat dan edukasi ini melalui blog, media sosial, bahkan ajakan langsung kepada pebisnis makanan & minuman di sekitar kita.
Setelah mengikuti kegiatan Danone Digital Academy pada 18-20 Oktober 2021, saya jadi semakin sadar akan urgensi kita bersama dalam melestarikan lingkungan. Selama 3 hari masa pelatihan itu, saya tak hanya mendapat materi dari pembicara-pembicara ternama dan memahami Sustainable Development Goals (SDG), namun juga saling bertukar ide dengan peserta-peserta Danone Digital Academy 2021 lainnya, khususnya rekan satu kelompok. Dari lingkungan yang terjaga, maka nutrisi pun terjaga, dan akhirnya stabilitas bangsa pun terjaga. Mari #BijakBerplastik untuk bumi yang resik.
Referensi:
https://mediaindonesia.com/weekend/278578/bencana-lingkungan-dari-sedotan-plastik
https://www.medcom.id/pilar/kolom/zNA3DJ8k-sampah-berkelanjutan
https://tirto.id/mengapa-pelarangan-sedotan-plastik-kontroversial-efxZ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H