Beberapa tahun belakangan nominasi Pahlawan Nasional hampir selalu diisi oleh sosok-sosok yang kontroversial. Bila pada 2009 sosok ini mengacu pada nama Soeharto, maka tahun ini lagi-lagi sosok penguasa Orde Baru ini kembali dinominasikan bersama seorang tokoh kontroversial lainnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tentunya, dari 10 nominasi Pahlawan Nasional yang diajukan pemerintah tahun ini, dua sosok yang pernah menjadi  presiden Indonesia inilah yang kemudian menjadi objek silang pendapat di antara pihak yang pro dan kontra.
Di tengah perdebatan panjang itu dan juga rentetan bencana alam yang menerpa negeri ini terdapat aspirasi menarik yang disuarakan oleh sekelompok mahasiswa-aktivis di Jombang. Mereka mendesak agar  Mbah Maridjan, juru kunci sekaligus salah satu korban yang tewas akibat letusan Gunung Merapi (26/10), ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, Mbah Maridjan adalah sosok yang konsisten dan berani mengambil resiko apapun demi melaksanakan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.
Aspirasi ini bagi sebagian besar orang mungkin diartikan sebagai reaksi spontan dan  ekspresi empati terhadap kematian mendadak Mbah Maridjan. Namun demikian, dalam tataran ide, aspirasi ini merupakan ekspresi kejenuhan terhadap sosok-sosok Pahlawan Nasional yang selama ini  didominasi oleh kaum elit. Ketidakselarasan antara konsep pahlawan dan aplikasi dari konsep itu membuat hampir tidak ada ruang bagi orang-orang biasa, tokoh-tokoh populis, dan  wong cilik, untuk ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional.
Konsep Pahlawan
Pada awalnya konsep pahlawan yang ditetapkan oleh pemerintah memang terkesan elitis. Hal tampak dalam Keputusan Presiden No.241 Tahun 1958 yang menyatakan : Pahlawan Kemerdekaan Nasional adalah seseorang yang terdorong oleh rasa nasionalisme memimpin suatu perjuangan yang menentang penjajahan di Indonesia dalam segala bidang kehidupan. Namun demikian,  enam tahun kemudian sifat elitis ini tidak tampak lagi. Dalam  Peraturan Presiden No.33 Tahun 1964 disebutkan bahwa pahlawan adalah warga negara Indonesia yang gugur dan memiliki jasa perjuangan dalam membela negara serta tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang tercela pada negara dalam riwayat kehidupannya.
Ketika Orde Baru berkuasa, istilah Pahlawan Nasional mulai dipakai. Walaupun terjadi perubahan penyebutan istilah, namun secara konseptual nyaris tidak ada perubahan yang substansial. Rezim Soeharto hanya memperluas kerangka historis yang sebelumnya hanya  meliputi periode Pergerakan Nasional (1901-1942) dan Revolusi Fisik (1945-1949). Di luar itu, terjadi pula perluasan geografis yang tidak saja meliputi pulau Jawa, tetapi juga seluruh jengkal wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Menurut Schreiner (Outward Apperances, 2005), perluasan ini dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa saat itu untuk mengonseptualisasi segala perjuangan anti-kolonial yang berpuncak pada kebangkitan Orde Baru.
Memasuki masa Reformasi, melalui UU No 20 yang diterbitkan pada 2009, pemerintah tidak mereduksi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya,  otoritas yang berkuasa lebih memilih untuk mengembangkan  konsep yang lama. Sebelumnya sosok Pahlawan Nasional identik dengan perjuangan melawan penjajahan. Namun belakangan sosok-sosok yang memberikan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembagunan dan kemajuan bangsa pun  secara teknis dapat dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional.
Dominasi Kaum Elit
Walaupun secara konseptual terkesan populis, namun pada kenyataannya, seringkali subjektivitas menjadi dasar utama untuk dalam penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Artinya, konteks politik dan relasi personal menjadi dua kriteria utama yang membuat sosok-sosok  Pahlawan Nasional di negeri ini didominasi oleh kaum elit.
Secara historis, elitisme dalam penganugerahan Pahlawan Nasional sesungguhnya telah dimulai sejak pertama kali Soekarno memberikan gelar ini kepada Abdul Muis pada 1957. Setelah itu, presiden pertama Indonesia ini pun cenderung memberikan gelar tersebut pada rekan-rekan seperjuangannya. Ketika arah politik Indonesia cenderung berkiblat ke Blok Timur pada awal dasawarsa 1960-an, Soekarno memberikan gelar Pahlawan Nasional pada dua tokoh gerakan kiri, Tan Malaka dan Alimin. Akhirnya, Â sang presiden pertama tersebut, di bawah tekanan politik, memberikan sepuluh gelar Pahlawan Revolusi pada perwira-perwira militer yang wafat akibat Peristiwa G30S.
Kencenderungan yang sama juga dilakukan oleh Soeharto ketika menjadi panglima Rezim Orde Baru. Kecuali dua sersan angkatan laut yang dieksekusi mati di Singapura, Soeharto juga cenderung memberikan gelar Pahlawan Nasional pada tokoh-tokoh militer dan sosok-sosok sipil yang mendukung pemerintahannya. Di luar itu, yang menarik, Soeharto juga memberikan gelar Pahlawan Proklamasi pada sosok Soekarno dan Mohammad Hatta pada akhir dasawarasa 1980-an dan mengangkat banyak tokoh perjuangan pra-kolonial untuk melegitimasi kekuasaan Pemerintah Orde Baru.
Pada masa Reformasi, walaupun terkesan lebih royal dan terbuka, kecenderungan yang dilakukan oleh dua penguasa sebelumnya masih berlanjut. Dari  42 tokoh yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sampai 2009, sosok-sosok elitis terutama dari bidang militer, politik, pemerintahan, dan keagamaan masih mendominasi. Namun yang perlu dicatat adalah kehadiran tiga tokoh populis yang mulai mendobrak kemapanan kaum elit.
Raja Ali Haji―walaupun termasuk keluarga Sultan Riau-Lingga― diangkat sebagai Pahlawan Nasional karena perannya terhadap pengembangan bahasa Melayu yang kemudian diadopsi menjadi bahasa persatuan Indonesia. Pada tahun yang sama (2004), Ismail Marzuki juga  mendapat gelar serupa karena lagu-lagu ciptaannya yang mengugah semangat perjuangan kemerdekaan. Akhirnya Tirto Adhi Soerjo, walaupun berasal dari keluarga bangsawan, namun ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bukan karena kedudukan sosialnya tersebut tetapi perannya sebagai pelopor pers nasional (Medan Prijaji).
Penghargaan dan Inspirasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum elit memiliki pengaruh besar dalam sejarah Indonesia. Namun, seperti yang dituturkan Taufik Abdullah, sesungguhnya sosok pahlawan tidak mengenal hierarki, walaupun harus diakui  bahwa semakin luas wilayah aktivitasnya dan tinggi kedudukan sosialnya maka semakin tinggi dampak dan luas simbolis yang ditinggalkannya (Pahlawan dan Kesadaran, 2007). Artinya, orang biasa, tokoh populis, dan wong cilik yang memiliki jasa, prestasi, dan karya yang bermakna bagi bangsa ini pun patut mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Akhirnya, gelar Pahlawan Nasional bukan sekedar penghargaan dan penghormatan bagi jasa tokoh-tokoh bangsa dan sanak-keluarga yang ditinggalkannya. Namun yang lebih penting adalah sosok-sosok Pahlawan Nasional ini dapat menginspirasi masyarakat, bangsa, dan negara dalam menghadapi berbagai persoalan yang semakin lama semakin kompleks. Semoga di tahun-tahun berikutnya pemerintah lebih banyak mengangkat orang-orang biasa yang berjasa besar bagi negara sebagai Pahlawan Nasional. Selamat Hari Pahlawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H