Koran Harian Terbit milik PT Surya Kota Jaya (Grup Poskota) berpindah tangan ke pengelola baru pada tahun 2014. Seluruh awaknya termasuk saya, yang 20 tahun lebih 'ngendon' di sana mendapat jatah uang sangu. Pembelinya politisi partai.
Manajemen baru koran sore yang terbit sejak tahun 1972 itu, salahsatunya teman lama. Sejak ada kabar pindahan, dia jadi sering nelpon dan chat di BBM (Blackberry Messanger). Halow milenialis, ini teknologi lawas lho!?
Dia terlibat di proses awal 'pindah gerbong' lama ke gerbong baru, lalu minta rujukan tentang siapa saja dari gerbong lama yang bisa diangkut ke gerbong baru. Dianggapnya, saya paham soal SDM. Hihi..
Berceritalah saya apa adanya, dan dia percaya begitu saja. Sepertinya. Dia ngasih kode, ada peluang redaktur kalau saya mau. Toh, dia tidak pernah menelpon atau kirim BBM lagi karena saya tidak merespon secara saksama dan dalam tempo sesingkatnya. Tapi, ocehan saya tentang personel baru itu dipakai.
Â
***
Kadung akrab dengan penghuni gedung aset Pemda DKI Jakarta yang dikelola PT Prodas dan Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI) itu, saya bikin Forum Pewarta Film (FPF). Awalnya, forum ini sebatas grup Blackberrry. Saya hasut wartawan supaya menghidupkan PPHUI.
FPF mulai bergerak dengan menonton bareng film lawas sambil berbuka puasa di Sinematek Indonesia. Kemudian bikin diskusi terkait pecahnya organisasi PARFI pasca kongres di Lombok, dan lainnya.
Akhir Desember 2015, saya bersepakat dengan Kepala Sinematek Adisurya Abdi untuk mengadakan Usmar Ismail Awards (UIA), ajang penghargaan karya perfilman yang jurinya adalah wartawan.
Â
Acara puncak dijadwalkan bulan Maret 2016 pas Hari Film Nasional. Tapi target itu bergeser jadi tanggal 2 April 2016. Tempat acara yang semula akan di halaman Museum Fatahilah dialihkan ke Balai Kartini, Jakarta.
Kabar baik tentang rencana bikin UIA 2016 itu saya broadcast di grup BBM FPF. Dua kali wartawan film punya acara bersama yaitu pemilihan Best Actor dan Actress tahun 1973 oleh PWI, dan Festival Film Jakarta (FFJ) di tahun 2006 dan 2007 oleh Tabloid Bintang Indonesia dan Cek & Ricek.
Kedua event tidak berlanjut. Best Actor dan Actress secara politis diambil alih pemerintah, melebur menjadi bagian Festival Film Indonesia. FFJ tak terdengar lagi, entah mengapa?
Meski belum jelas pola kerjasama untuk UIA, saya semangat dan mulai bergerak. Ini kesempatan besar untuk wartawan film agar lebih berarti, punya andil dalam memajukan perfilman nasional ketimbang runtang-runtung atau bergerombol gak jelas.Â
Ada juga yang bilang, jadi wartawan hiburan (film dan musik) enak. Setiap hari ketawa haha-hihi, gak berasa, tau-tau tua. Enel juga sih..
Seperti adegan film Naga Bonar, saya dan Adisurya Abdi memilih tugas sendiri. Bidang Kehumasan dan Penjurian jadi bagian saya. Sementara, Adisurya Abdi menunjuk diri sebagai Ketua Pengarah UIA.
Menghadirkan performa wartawan di ajang ini sangat saya tunggu-tunggu, dan selanjutnya saya membagi dua skuad wartawan, yaitu Tim Juri dan Tim Sekretariat.
UIA adalah medium pertemuan wartawan senior, madya dan junior untuk pertama kali. Bahkan, diantaranya tidak saling mengenal.
Tim Sekretariat bermarkas di lantai 5 (tempat yang semula ruangan kosong) PPHUI untuk membuat proyeksi, agenda, dan merancang buku UIA 2016 yang eksklusif.
Aktivitas berlanjut. Di tengah perjalanan, nyaris saya mutung ketika Adisurya Abdi tak juga memberi kepastian soal honor untuk Tim Sekretariat. Tim ini akhirnya gigit jari karena sampai UIA 2016 berakhir, tidak terima honor dari YPPHUI.
Merasa bersalah, saya minta maaf kepada Tim Sekretariat karena tidak berhasil memperjuangkan hak mereka bahkan hak saya mendapat honor sebagai Ketua Bidang Humas dan Penjurian.
Atas kejadian yang menjengkelkan itulah, saya menolak ketika diminta bergabung di ajang UIA tahun 2017.
Banyak alasan untuk menolak, tapi yang paling utama munculnya fitnah, saya menilep uang Rp36 Juta dari Pusbangfilm Kemdikbud. Ahaiii..
Laporan pertanggungjawaban saya buat rinci dan detail ke YPPHUI tembus ke semua pihak terkait. Tapi virus fitnah sudah merasuk ke tulang sumsum.
Untung ada wartawan Herman Wijaya yang menghalau kabar buruk itu.
***
Januari 2016, saya bentuk tim dan mengumpulkan wartawan untuk tugas mulia menjadi juri dan sekretariat meski ketika itu belum menerima SK Pengangkatan dari YPPHUI.
Mengejar tenggat waktu, saya bersama teman Herman Wijaya dan Dudut Suhendra Putra atas nama FPF bolak-balik ke kantor Gubernur DKI Jakarta.
Tetapi kami sudah cukup senang diterima oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, yang dalam pertemuan itu menyatakan bersedia membantu fasilitasi tempat. Soal kata pengantar, Ahok pun mengirim tulisan yang ditandatanganinya.
Ketika rombongan official broadcast Trans TV diketuai Teguh Usis datang ke lokasi Museum Fatahilah untuk melakukan rekayasa acara, mereka keberatan dan menolak acara di tempat itu. Â
"Di sini sebetulnya bagus tapi soal teknis, keamanan dan biaya relatif lebih gede dibanding acara di studio," kata Teguh Usis. Intinya, Trans TV minta pindah lokasi acara Malam Puncak nanti.
Mendengar alasan itu, saya cukup puas meski harus mengatakan 'selamat tinggal Museum Fatahilah'. Soal tempat lain, saya tidak ikut campur lagi. Yang pasti, Malam Puncak UIA berlangsung di Balai Kartini. Sangat meriah.
***
Saat diplomasi FPF dengan Pemda DKI Jakarta, kepanitiaan UIA 2016 baru saja terbentuk. Taufik Andharu Bhaskara menyatakan siap jadi Ketua Pelaksana UIA bersama tim marketingnya dan berjanji akan menutup biaya kegiatan. Tapi, sampai kelar acara UIA, semuanya angin surga.
Ketika saya menerima SK Pengangkatan sebagai Panitia Bidang Humas dan Penjurian dari Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI), SK yang sama diberikan untuk Dewan Juri Awal UIA.
Bedanya, anggota Dewan Juri Awal UIA mendapat Surat Kontrak Kerjasama yang saya teken, dan tercantum besaran honor masing-masing juri Rp10 Juta. Waktu anggota juri ditambah empat orang sebagai Dewan Juri Akhir UIA, masing-masing menerima honor Rp 2,5 Juta.
Sementara, Panitia Bidang Humas dan Penjurian UIA 2016 tidak mendapat surat kontrak. Artinya, tidak ada gambaran berapa honor yang akan diterima.
"Honor Tim Sekretariat disiapkan. Nanti, akan kami berikan," kata Adisurya Abdi yang tidak pernah merealisasikan janjinya itu.
Selanjutnya, Panitia Bidang Humas dan Penjurian membentuk Tim Sekretariat yang isinya 'itu-itu juga'. Salahsatu tugas Tim Sekretariat adalah membuat Buku UIA. Pada kesempatan itu, Pusbangfilm Kemdikbud memberikan fasilitasi sebesar Rp36 Juta dengan kompensasi pemuatan artikel dua halaman di Buku UIA.
Â
Atas saran Herman Wijaya dan disetujui seluruh Tim Sekretariat, dana Rp36 Juta itu dijadikan pengganti honor kami, yang langsung dibagi untuk 12 orang sesuai porsi pekerjaan selama 3 bulan.
Buku UIA dicetak sebanyak 750 eksemplar dengan pembiayaan dari YPPHUI dan Panitia Pelaksana UIA. Pembayaran cetakan buku ini alot sampai pihak percetakan kapok menagih.
Buku dibagikan pada Malam Puncak UIA 2016 yang disiarkan langsung oleh Trans TV dari Balai Kartini, Jakarta tanggal 2 April 2016, pukul 20.30 WIB.
Panitia Bidang Humas dan Penjurian UIA 2016 terdiri dari: Teguh Imam Suryadi (tabloidkabarfilm.com/ Ketua), Nini Sunny (xposeindonesia.com/ Kabid Media Sosial), Dudut Suhendra Putra (xposeindonesia.com/ Kabid Dokumentasi), Deni Irawan (21cineplex.com/ anggota), Edi Edo (musiclive.com/ anggota), Akhmad Sekhu (moviegoers.com), Rosihan Kailinto Nurdin (senior/ anggota), Stevy Widia (youngster.id/ anggota), Thomas Manggala (Koran Sindo/ anggota).
Tim Redaksi Buku UIA adalah juga anggota Panitia Bidang Humas dan Penjurian ditambah tenaga lainnya, yaitu Herman Wijaya, Jeni, Ramli, dan Hendra Adrian.
Penjurian UIA 2016 dilakukan oleh Dewan Juri Tahap Awal dan dipoles lebih dalam oleh Dewan Juri Tahap Akhir.
Mengumpulkan anggota Dewan Juri tidak terlalu sulit, meskipun ada juga yang menolak karena bentrok dengan kesibukannya.
Agar tidak terjadi salah paham dengan wartawan Tim Sekretariat, saya menjelaskan bahwa pembagian tugas itu lebih karena masalah teknis. Mereka maklum.
Artinya, tidak ada yang lebih ditinggikan atau diistimewakan. Bisa saja, misalnya tahun depan para juri berganti posisi di tim sekretariat.
Maka berkumpulah para pendekar untuk menjadi anggota Dewan Juri Awal UIA 2016 yaitu: Bens Leo (senior), Yan Widjaya (senior), Herman Wijaya (Tabloid Bintang Film), Susi Ivvaty (Kompas), Â Wina Armada (senior), Puput Puji Lestari (bintang.com), Ami Herman (riauinfo.com), Bobby Batara (Majalah All Film), Adrian Jonathan Pasaribu (filmindonesia.or.id), Shandy Gasella (detik.com), Benny Benke (Suara Merdeka), Bambang Sulistyo (Majalah Gatra), Dimas Supriyanto (Poskota), Beby Tertiani ZB Simanjuntak (The Jakarta Post), dan Sihar Ramses Simatupang (Sinar Harapan).
Juri Tahap Akhir yang saya kontak adalah wartawan luar Jakarta dan luar negeri. Para jagoan ini tak diragukan integritasnya yaitu Ipik Tanoyo (Bali Post), Daniel Irawan (Harian Waspada), Ekky Imanjaya (Pengamat film/ Inggris), dan Khaidir Banjar (Kedaulatan Rakyat).
19 Juri UIA 2016 adalah wartawan top. Sama hebatnya dengan 9 wartawan yang berkumpul di Tim Sekretariat.Â
Kegiatan perfilman Indonesia sangat dinamis, dan terus begitu. Saya sudah merasa seperti satu keluarga dengan orang-orang di dalamnya. Soal tidak dibayar itu pun menjadi kisah masa lalu.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H