Dengan hanya mengaku wartawan apalagi senior, akan mudah menekuk para birokrat koruptif, pengusaha curang, politisi gelap dan lainnya untuk dimanfaatkan. Parasit ini subur tanpa bisa dihentikan.
Teman wartawan di Polda Metro Jaya menyebutkan di markas polisi negara itu jumlah wartawannya ratusan orang, dan semua mendapat 'jatah' operasional secara rutin. Apakah semua itu semacam ejawantah dari panji "Polisi mengayomi rakyat"? Saya meragukannya.
Jika amplop diibaratkan candu, di dunia pers sudah terjadi ekosistem "satu paket" dengan adanya bandar, pengedar, dan pemakai. Pada situasi tertentu, pemakai ini bisa juga dianggap korban.
Di lingkup wartawan hiburan, musik dan film sistem itu sudah baku. Siapa saja bandar besar, pengedar dan pemakai, berapa isinya dan korban amplop, semua tahu sama tahu. Kedip-kedipin mata.
Atas nama profesi, wartawan melacur di luar kantor menciptakan jaringan mafia bisnis. Biasanya jaringan ini bikin kegiatan promosi dalam bentuk jumpa pers.
Ada pembagian tugas di dalamnya. Siapa wartawan yang tugasnya mencari klien, jadi moderator, dan operator di lapangan. Pola tersebut sustainable.
Jika segala hal menyenangkan disebut amplop, setiap hari saya dapatkan. Hidup tanpa amplop (bahagia) sangatlah merana.
Jika hadiah dari narasumber, kenalan, mantan teman yang sukses jadi pengusaha ataupun pejabat disebut amplop sehingga dikhawatirkan merusak kualitas berita, saya sering menerimanya. Ikut senang punya teman sukses.
Jika dikirimi email berisi berita lengkap disebut amplop, saya sering menerima itu. Berita sekilas untuk stopper dari rilis, dan sejenisnya adalah bentuk relationship dengan si pengirim.
Jika berkunjung ke daerah di seluruh Indonesia mendapatkan tiket kereta, pesawat dan juga cinderamata adalah amplop, tak terhitung berapa kali saya mendapatkan apresiasi dari kementerian dan orang-orang yang terkait dengan dunia pariwisata.
Jika ditawari pergi ke negeri seberang adalah amplop, saya tidak pernah menolak kesempatan itu.