Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tertawa dan Menangis untuk "A Man Called Ahok"

21 November 2018   19:49 Diperbarui: 21 November 2018   20:43 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa greget, lo?

Gue mau nonton A Man Called Ahok, belum masuk bioskop sudah ada yang nangis..

***

Film A Man Called Ahok (AMCA) tembus 1.009.303 penonton dalam hitungan sepekan (17 November 2018).

Film biopik tentang masa remaja Basuki Tjahaya Purnama -- Gubernur DKI Jakarta yang dijatuhkan secara politik -- arahan sutradara Putrama Tuta (Catatan Harian si Boy, Pintu Harmonika, Noah Awal Semula) itu merupakan rival keras film Hanum dan Rangga, yang dibully oleh netizen akibat ulah Hanum Salsabiela Rais selaku penulis, yang menggiring persaingan kedua film ke ranah politik.

Hanum adalah anak biologis politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Dia juga mewarisi darah ideologis orangtuanya. Sehingga, film garapan sutradara Benni Setiawan itu terseret masuk pusaran politik renyah. Beberapa pekan sebelum film tayang, Hanum terjebak isu menyebarkan hoax dalam kasus 'pemukulan' Ratna Sarumpaet anggota timses kampanye Prabowo-Sandi, yang kemudian dipecat.

Akumulasi kejadian di ranah politik itu membuat kecenderungan orang menonton film AMCA, yang menawarkan inspirasi mengusung aura kesetiaan profesi, nasionalisme, dan anti korupsi.

Pesan dalam skala besar yang disampaikan AMCA lebih kuat dibandingkan H&R meski keduanya punya potensi seimbang untuk meraih banyak penonton.

Saya belum menonton H&R karena terbiasa menonton film-film Hanum dan Rangga sebelumnya. Tidak buruk, hanya kisahnya membosankan. Jika bukan tuntutan kerja, itu bukan film favorit saya. Demikian pula film AMCA. 

Sebab, film-film yang ditulis naskahnya oleh Hanum Rais dan Rangga suaminya, sebelum H&R relatif diterima penonton dan box office. Misalnya film 99 Cahaya di Langit Eropa, 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2, Bulan Terbelah di Langit Amerika, dan Bulan Terbelah di Langit Amerika 2.

Pada kesempatan yang sama, H&R hanya meraih tak lebih dari 250.000 penonton.

Jumlah penonton H&R dengan AMCA pada pekan pertama itu sudah mencapai angka psikologis dan politis bagi keduanya.

AMCA menang telak melawan H&R dan menjadi film biopik terbanyak penontonnya setelah Habibie & Ainun (4,5 Juta) dan Rudy Habibie (2,2 Juta). Kedua film terakhir milik MD Pictures yang memproduksi Hanum dan Rangga.

Genre biopik selama ini sulit mendapatkan penonton, AMCA adalah pengecualian, tertolong tak hanya oleh penonton umum tetapi juga para 'Ahoker' yang penasaran dan kangen pada sosok idola mereka.

Jumlah penonton AMCA sedikit diatas Soekarno-Indonesia Merdeka (2013) yang hingga layar diturunkan dari bioskop, film arahan sutradara Hanung Bramantyo itu membawa pulang 960.071 tiket penonton.

Film-film biopik kisah perjuangan tokoh nasional dan populer antaranya Sang Kiai (2013), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Kartini (2017), Wage (2017), Nyai Ahmad Dahlan (2017), Moonrise Over Egypt: Perjuangan H Agus Salim di Kairo (2018).

Yang lainnya Gie (2005), Sang Pencerah (2010), Chrisye (2017), Athirah (2016), Jenderal Soedirman (2015), Istirahatlah Kata-Kata (2017), Jokowi (2013), Merry Riana Mimpi Sejuta Dolar (2014), Soegija (2012), dan yang terbaru Sultan Agung (2018)

***

Menonton AMCA saya tak mendapatkan hal baru dalam film Indonesia. Secara teknis dan pengadeganan film ini sangat standar drama.

Bahkan, entah mengapa sosok Ahok terasa miss casting diperankan oleh aktor Daniel Mananta. 

Sementara di saat Ahok remaja tidak mendapat banyak kesempatan muncul (bicara) dan didominasi ayahnya (diperankan aktor Denny Soemargo). Namun pada bagian Ahok remaja ini lebih terasa dramatis. Penonton kepincut untuk mengambil tisu untuk membasuh mata basah mereka.

Selebihnya, atau bahwa kemudian film AMCA ini 'menang banyak', itu lebih disebabkan faktor emosional garis politik penonton.

***

img-20181121-203257-5bf5613eaeebe1354666d7f2.jpg
img-20181121-203257-5bf5613eaeebe1354666d7f2.jpg
Agar tidak lupa, di awal tulisan ini saya membuat semacam highlight soal ulah penonton AMCA yang menangis sebelum masuk teater. Dia adalah donatur saya untuk pembelian tiket nonton  siang itu di CGV Slipi Jaya, Jakarta Barat.

Mungkin dia lagi pingin beramal, lalu mentaraktir saya. Jadi, dia membeli dua tiket Rp70.000 (@ Rp35.000). Okesip, tiket sudah dipegang.

Tiba-tiba dia buka smartphone, dan tampak tekun membaca 'kitab suci'-nya itu.

"Sorry, bro gua lupa, hari ini di jam ini ada janjian sama nara sumber di Kantor DPRD DKI," kata my bro, wartawan senior dan penulis kritik film berinisial Herman Wijaya.

Sudah bisa ditebak seperti film Indonesia, apa yang akan terjadi kemudian. Ya, dia mohon pamit bergeser ke tempat lain. Artinya, batal nonton.

Bagaimana nasib dua helai karcis yang sudah dibeli? "Jual saja," kata saya sekenanya. Ya, daripada mubazir, dia tawarkan tiketnya ke calon penonton yang masih antri.

"Maaf, saya mau nonton Hanum dan Rangga," kata pria yang ditawari tiket. Di depan pria itu berdiri perempuan berhijab memperhatikan gerak-gerik teman saya yang mendadak jadi 'calo'.

Tidak patah semangat, teman saya kembali mencoba. Kali ini ia sodorkan pada seorang perempuan yang datang bersama temannya. Sukses, tiket itu tidak ditolak, tapi perempuan itu juga tak membayar.

"Gua kasihin aja deh. Kapan-kapan nontonnya," katanya dengan nada penuh keikhlasan. Mukanya kecewa atas keteledoran membaca jadwal meeting.

Akhirnya saya nonton sorangan wae. Di dalam teater sampai bubar, hanya saya dan 10 orang lainnya. Ruangan bioskop terasa sangat lengang.

Mendapatkan sejuta penonton bagi film AMCA dipastikan berjuta rasanya bagi produser. Dia sudah tersenyum lebar sekali sebelum film turun layar. Seperti mendapat 'jackpot', jumlah itu bisa ditaksir berapa duit masuk ke kantong produser dan pemilik bioskop. 

Taruhlah rata-rata harga tiket Rp35.000, lalu kalikan sejuta (35.000 x 1.000.000 = Rp35 Miliar). Setelah berbagi dengan bioskop, produser mendapat sekitar Rp20 Miliar. Dengan biaya produksi AMCA sekitar Rp5 Miliar, hasil itu sangat memuaskan. Bisa bikin 3-4 film lagi.   **

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun