Suara motor mereka meraung-raung membuat kuping budeg sementara. Asap mengepul sampai keluar dari atas bangunan tong. Dua penunggang motor edan; mereka melintas berputar-putar menempel di dinding yang kemiringannya 90 derajat tanpa terjatuh. Sesekali mereka bergandengan tangan.
Dalam ingatan bocah ketika itu, atraksi naik motor tong setan menginspirasi untuk melakukan hal yang sama. Atau, sama sekali tidak mau melakukannya.Â
Saya termasuk yang terdorong untuk mencoba, dan sampai sekarang belum pernah. Juga harus berpikir ulang kalau ada yang menawari.Atraksi motor tong setan sering dianggap sebagai perlawanan terhadap gaya grativasi, didukung gaya sentripetal dan gaya gesek. Semua gaya itu ada dalam ilmu fisika. Bisa dipelajari. Bahwa si pengendara terlihat bergaya, ya karena didukung keberanian dan skill.Â
Info menarik tentang gedung Velodrome (sekarang Jakarta International Velodrome) adalah bahan material lintasannya dibuat khusus dari material kayu siberia yang ada di Jerman.
Jenis kayu siberia sebenarnya setipe dengan kayu merbau dari Indonesia. Tapi, pemborong bangunan kawasan berbiaya Rp665 Miliar itu mengejar deadline, untuk acara Asian Games 2018, bulan Agustus lalu. Jika memakai kayu merbau, harus melalui penelitian agak panjang.
Pada laga final kemarin, saya datang sekitar jam 15.00 WIB sehingga cuma kebagian menyaksikan tiga nomor pertandingan. Sementara jadwal pertandingan (saya baca di website official) dimulai pukul 09.00-16.00 WIB.
Menonton Asian Para Games sudah dirancang bulat, tapi kesempatannya masih lonjong.Â
Di sisi kanan Velodrome sudah berdiri Stasiun LRT (Light Rapid Transit). Kondisi LRT yang akan memintas jalan menuju Kelapa Gading itu dalam proses finishing dan ujicoba.Â
Saya mengejar waktu untuk nonton balap sepeda, belum tertarik memasuki LRT ini, mungkin lain kali. LRT sendiri mirip dengan MRT (Mass Rapid Transit). Perbedaannya hanya dalam daya angkut. Kapasitas LRT jauh lebih kecil dibandingkan MRT.Â