Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menanti Presiden Jokowi di FFI 2016

1 Agustus 2016   01:36 Diperbarui: 1 Agustus 2016   05:45 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2016 siap digelar. Puncak acara FFI berupa pemberian penghargaan Piala Citra kepada insan perfilman Indonesia, akan berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada November mendatang.

Rencana itu sudah diworo-woro oleh Panitia Pelaksana FFI 2016 yang dibentuk oleh pemerintah (Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI).

Ajang penghargaan film tertua di Indonesia ini dimulai tahun 1955. Awalnya FFI bernama Pekan Apresiasi Film Nasional (PAFN) diselenggarakan dan dibiayai sendiri oleh orang film. Maka sah, jika mereka mau mengklaim ajang tersebut adalah milik orang film thok!.

Meski PAFN milik orang film tapi tidak pernah dinyatakan dan, sambutan masyarakat begitu besar terhadap kegiatan yang menyebarkan semangat kecintaan pada film nasional. Aksi itu berlanjut bahkan sampai PAFN ditake-over oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan (Deppen) tahun 1973.

Masyarakat film kala itu -- dan sampai sekarang -- tidak punya banyak uang untuk melanjutkan festival, sehingga pemerintah yang melihat potensi film sebagai media propaganda, bersedia membantu. Artinya, FFI tak lagi ekslusif milik orang film, karena dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

FFI rutin digelar sejak 1973 sampai tahun 1992. Tahun-tahun berikutnya FFI tidak dilaksanakan, karena produksi film lokal menurun tajam.

Tahun 2004 FFI hadir lagi setelah libur panjang 12 tahun. Kementerian yang membidangi film waktu itu adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di ujung pemerintahan  Presiden Megawati Soekarnoputri inilah, masyarakat film –  dikoordinir Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) -- mendapatkan hak previlage; diundang Presiden beraudiensi ke Istana Negara.

Ketika BP2N habis masa dinasnya tahun 2009 dan memasuki transisi sampai 2013, pelaksanaan FFI berganti-ganti dilakukan oleh dua kelompok kekuatan ‘tua’ dan ‘muda’ perfilman.  Benturan dua kelompok ini sangat keras, bahkan berimbas ke hasil akhir FFI. Panitia tertentu memenangkan film yang relatif ‘ngeklik’ dengan kelompoknya.   

Rebutan proyek FFI ini terhenti ketika BPI hadir dan dianggap paling sah dan berwenang sebagai pelaksana FFI.  Maka sebagai pemenang proyek, BPI seperti kalap ketika melakukan perombakan konsep FFI.

Sistem penjurian lama FFI digusur sejak 2014 demi mengembalikan marwah FFI. Juri yang sebelumnya tak sampai 50 orang dan terdiri dari berbagai disiplin ilmu, menjadi 100 orang dari kalangan orang film sendiri.

Sayangnya, sampai tahun ketiga FFI dibawah BPI justru semakin kehilangan kontrol. Jumlah 100 juri tidak pernah terpublikasi, bahkan di dalam website yang dibuat oleh panitia FFI sekalipun. Proses penilaian pun tak terpantau. Berlangsung diam-diam, tanpa diskusi dan perdebatan layaknya sebuah ajang penilaian. Atau bahkan mungkin, ada juri yang tidak bekerja tapi menerima honornya.

Yang menarik, FFI tahun ini akan merekrut 40an perwakilan asosiasi yang tergabung di BPI sebagai juri, sementara belum pernah ada verifikasi keabsahan ke-40 asosiasi tersebut.

Alih-alih  ingin mengembalikan marwah, panitia pelaksana FFI yang terdiri dari lingkaran orang-orang dekat Ketua BPI – ini mengingatkan pada sistem Panitia Tetap FFI di masa lalu – juga akan menghapus kegiatan roadshowyang selama ini menjadi nyawa FFI.

Menghapus roadshow FFI adalah langkah mundur. Ini menandakan ketidakmampuan panitia FFI meyakinkan Pemerintah Daerah, bahwa FFI merupakan ajang yang layak dan wajib diapresiasi oleh masyarakat di daerah.

Menyelenggarakan FFI di ibukota Jakarta memang lebih dekat ke pusat pemerintahan. Dengan begitu, jika nanti mengundang Presiden Joko Widodo dan beliau berkenan hadir, jauh lebih mudah aksesnya. Tapi, apakah presiden masih berkenan hadir jika pelaksanaan FFI tidak berpihak kepada masyarakat luas?

Saya jadi ingat pesan Presiden Jokowi yang hadir di panggung FFI tahun 2014 di Palembang. Beliau berharap perfilman Indonesia semakin dicintai oleh masyarakat.

Mengingat maksud dan tujuan FFI yang dibiayai negara dari APBN sebesar Rp7,5 Miliar, maka sistem yang diusung FFI 2016 merupakan bentuk pengingkaran peran serta dan hak masyarakat yang membiayai FFI secara tidak langsung.

Minimnya pemberitaan media massa mengenai FFI sebenarnya menunjukkan ketidakpedulian masyarakat. Menunggu perubahan mental para pelaksana FFI sepertinya sia-sia.  Seharusnya Komisi X DPR RI ikut mengevaluasi  sepakterjang para panitia FFI dan pelaksanaannya. **

Koordinator Forum Pewarta Film

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun