Apa kabar Badan Perfilman Indonesia (BPI)? Memasuki tahun ketiga lembaga bentukan pemerintah ini, seharusnya menjadi mercusuar dan epicentrum pemikiran baru perfilman. Sayangnya, BPI tak lebih baik dari lembaga yang digantikannya, Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Â
BPI lahir atas fasilitasi pemerintahan di masa akhir Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, di mana urusan film berada di dua kementerian (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). BPI merupakan amanat Undang-undang Perfilman no 33 tahun 2009, yang belum ada penjelasannya berupa PP.Â
"Biaya kelahiran BPI tahun 2013 mencapai lebih dari semiliar," bisik juragan event organizer pemenang tender proyek pembentukan BPI kepada penulis.
Menurut dia, anggaran itu akumulasi untuk membiayai honor peserta beberapa kali rapat Forum Group Discussion (FGD), sewa dua hotel tempat Mubes (Musyawarah Besar), hingga membayar honor ratusan peserta mubes. Banjir pun melanda Jakarta pada malam kelahiran BPI.
Yang menarik sebenarnya bukan behind the scene yang diungkapkan EO, melainkan pro-kontra menjelang lahirnya BPI. Dua kubu bersitegang, yakni kelompok yang teridentifikasi sebagai ‘kelompok tua’ yang marjinal dan, mereka yang mengidentifikasi sebagai ‘kelompok muda’ perfilman.
Kelompok muda agresif menunjukkan jati diri sebagai pembaharu, progresif, dan revolusioner dalam berjuang demi mengakhiri masa-masa suram organisasi perfilman di bawah BP2N. Sedangkan kelompok tua ngotot dan ngeyel berusaha menjaga pamor di hadapan pemerintah, defensif menjaga ‘kekuasan’ agar tidak lepas dari genggaman. Perang dingin dua kelompok ini tak mendingin sampai sekarang.
Kekuasaan kelompok tua sempat nyaris absolut. Berbagai proyek fasilitasi pemerintah menjadi ‘pekerjaan besar’ mereka. Menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI), berangkat keluar negeri dalam rangka apa pun adalah contohnya. Mereka mengatur dan menentukan siapa saja kelompoknya yang harus mendapat bagian. Kini, semua kenikmatan itu berpindah ke tangan penguasa baru perfilman bernama BPI.
Kelompok yang pesimis waktu itu menyebut BPI adalah seperti mimpi di siang bolong, tak lebih dari pepesan kosong. Sementara, kelompok mayoritas optimistis memandang BPI sebagai tonggak kebangkitan (organisasi) perfilman. BPI diharapkan membawa aspirasi masyarakat perfilman dari A sampai Z.
Dengan modal stempel pengesahan dari pemerintah, BPI sebagai lembaga swasta mandiri siap dikemudikan. Tapi, belum genap setahun lembaga ini mulai meratapi nasibnya; karena sebagai lembaga swasta mandiri, artinya mereka tak mendapat bantuan dana dari pemerintah. Amsyong.Â
Sampai akhirnya adik kandung BPI, yakni Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), lahir di pemerintahan yang baru, situasi semakin gawat. Bekraf yang sama-sama disahkan oleh pemerintah, justru mendapat bantuan dana operasional, meski sampai hari ini juga tidak pernah jelas apa yang dikerjakan.
Akibatnya BPI terseok-seok demi menghidupi dirinya. Satu kasus belum selesai, muncul masalah lain yang tidak kalah pelik. Roda organisasi BPI mulai goyah setelah pengurusnya yang sembilan orang, satu per satu mangkir. Padahal, sebelumnya mereka kompak patungan mengumpulkan uang dari kantong pribadi untuk menggerakkan organisasi.