Tugas seorang aktor bukan hanya menghibur atau mengejar cita-cita untuk terkenal. Menjadi aktor – dan itu dibuktikan oleh Tyo Pakusadewo – adalah menjalankan tanggungjawab, yang dalam bahasa Tyo adalah membuka mata-hati masyarakat, melalui film.
Atas nama tanggungjawab itulah, Tyo Pakusadewo menggagas, menyutradarai, sekaligus berperan sebagai ‘narator’ dalam film yang digarapnya bersama sutradara Tino Saroengallo, berjudul “Pantja-Sila, Cita-cita & Realita”.
Selama 80 menit, salah satu aktor terbaik Indonesia ini menghidupkan kembali pidato Ir Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPU-PK) pada 1 Juni 1945. Pidato berisi gagasan dan buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu, selama ini tersimpan dalam file sejarah berupa teks naskah.
Film “Pantja-Sila, Cita-cita & Realita” mencoba menghadirkan pidato Bung Karno yang sangat patriotik dan menggebu-gebu tersebut.
Keaktoran Tyo Pakusadewo dalam film ini kembali terbukti dengan keberhasilannya menahan penonton untuk tak beranjak dari kursi, mendengar ‘pidatonya’. Tyo berhasil mengubah dirinya menjadi Bung Karno secara fisik, suara hingga gesturenya saat berpidato.
Didukung sutradara Tino Saroengallo yang sangat melek soal film dokumenter, serta rekaman gambar dari tangan dingin Director of Photography (DOP) terbaik Indonesia Yudi Datau, sehingga film produksi Jakarta Media Syndication dan Gepetto Productions ini berhasil menghadirkan Bung Karno hari ini.
Film “Pantja-Sila, Cita-cita & Realita” seperti diyakini oleh tim produksi adalah berjenis kelamin ‘film dokumenter sejarah’. Namun, pandangan wartawan senior Yan Widjaya terhadap film ini termasuk dokudrama.
“Karena tidak ada rekaman gambar Soekarno berpidato, melainkan diperankan oleh Tyo Pakusadewo maka ini film dokudrama,” kata Yan Widjaya yang ikut menonton premiere film tersebut di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada Kamis (2/6/2016) malam.
Apapun genrenya menurut Yan, film “Pantja-Sila” adalah sebuah film penting. “Film ini sangat penting menurut saya, makanya harus ditonton,” katanya.
Dalam film, Bung Karno dihadirkan memakai jas putih, dasi dan peci hitam. Latar belakang tempat Bung Karno berpidato juga berwarna putih dengan podium kayu, dan sebuah pengeras suara model lawas di depannya.
Fokus film ini adalah menghadirkan naskah pidato Bung Karno dihadapan sejumlah anggota BPU-PK. Seperti juga dikatakan oleh Produser Eksekutif dan sutradara Tino Saroengallo, bahwa tokoh utama film ini adalah Isi Pidato Lahirnya Pancasila.
Bung Karno tidak hanya menguasai panggung dengan gesture dan vokalnya yang tegas dan kuat, tetapi juga menguasai materi pidato tanpa teks.
Sekali-dua, muncul juga insert-insert still photo dan video rekaman Bung Karno dalam kesempatan yang lain. Sedikit “kenakalan” sutradara ikut muncul, misalnya ilustrasi video sejumlah anggota DPR yang sedang bermain-main di saat bersidang.
Film ini dipersembahkan untuk para pecinta dan pelindung Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, juga kepada generasi penerus yang belum pernah mengenal sejarah Pancasila. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H