Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pemerintah resmi menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% Pada tanggal 1 Januari 2025. Kenaikan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat, mulai dari kekhawatiran akan kenaikan harga hingga dukungan terhadap tujuan peningkatan penerimaan negara.
Kebijakan menaikkan PPN menjadi 12% yang telah diputuskan pemerintah bukanlah tanpa alasan. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara. Dana tambahan dari pajak diharapkan mampu mendukung pembiayaan berbagai program, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pendidikan, serta memperkuat jaring pengaman sosial.
Mentri keuangan, Sri Mulyani, Menjelaskan bahwa kemampuan APBN untuk menyesuaikan diri dalam situasi krisis menjadi kunci keberhasilan pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional. Menurutnya, tanpa pengelolaan yang baik, APBN tidak akan mampu menjalankan fungsinya. Maka dari itu, diharapkan penetapan kenaikan PPN ini dapat menjadi  penopang pertumbuhan ekonomi dan perlindungan sosial bagi masyarakat.
 "APBN memang harus terus dijaga kesehatannya, namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons, seperti yang kita lihat dalam episode-episode pada saat global financial crisis dan saat waktu terjadinya pandemi kita gunakanlah APBN" Ujar Sri Mulyani pada rapat kerja dengan komisis XI DPR RI, Jum'at (15/11/2024).
Selain itu, kenaikan tarif PPN ini juga dianggap sebagai upaya untuk menyesuaikan tarif pajak Indonesia dengan standar internasional. Di mana rata-rata tarif PPN global berada pada kisaran 15,4%. Jika kita bandingkan dengan Finlandia yang menetapkan PPN sebesar 24% dengan peringkat kedua PPN tertinggi di dunia. Namun, Finlandia tetap dikenal sebagai negara paling bahagia di dunia menurut World Happiness Report 2024. Hal ini menunjukkan bahwa tarif PPN yang tinggi dan dikelola dengan baik dapat mendukung layanan publik berkualitas, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, PPN bukan sekadar beban, melainkan investasi bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua.
Tarif PPN 12% akan dikenakan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah, sedangkan barang pokok yang menyangkut hajat orang banyak seperti beras, jagung, telur, susu, daging, dan sayuran dikecualikan dari PPN, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 116/PMK.010/2017. Hal ini juga dilakukan untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah dan kelompok miskin dari dampak langsung PPN, sehingga kebutuhan dasar mereka tetap terjangkau. Dengan demikian, penerapan PPN tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan sosial.
Para ahli juga turut memberi proyeksi kondisi ekonomi ke depannya. Salah satunya ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai 5,15%. Meskipun ada kenaikan PPN, konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan tetap menjadi pendorong utama perekonomian. Angka tersebut dianggap cukup baik pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun, proyeksi ini harus dipandang dengan hati-hati karena beberapa lembaga Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi akan stagnan di angka 5% pada tahun yang sama. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan konsumsi domestik.
Pemerintah memperkirakan inflasi akibat kenaikan PPN ini hanya akan meningkat sebesar 0,2%. Pada daya beli Masyarakat, kenaikan PPN ini diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran kelompok masyarakat. Hal ini diproyeksikan pada kelompok miskin mengalami kenaikan sekitar Rp101.880 per bulan dan kelas menengah sekitar Rp354.293 per bulan.