Mohon tunggu...
Teguh
Teguh Mohon Tunggu... -

Teguh cipta mahasiswa angkatan 2010 jurusan ilmu komunikasi Fisip Universitas sultan ageng tirtayasa, semester 4

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika Meraih Tahta

18 Juni 2012   17:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NICCOLO Machiavelli (1469-1527) sesungguhnya seorang humanis sejati yang melahirkan karya sastra dalam bentuk novel serta naskah komedi dan satir. Namun, ia justru lebih dikenal sebagai filosof dengan karya termashurnya, Il Principe (Pangeran, Raja atau Penguasa).

Tak semua ajaran Machiavelli dalam Il Principe buruk. Tapi, yang dikenang orang justru ajarannya bagaimana membangun kekuasaan absolut dan otoriter. Sebagai contoh, raja harus tampak bijak bestari di hadapan rakyat, walau sesungguhnya ia bengis. Selain itu, demi kepentingan negara dan pemerintah, semua tindakan adalah halal sesuai keputusan pemerintah. Karena itu, jangan heran, ajaran Machiavellisme mengajarkan secara umum ‘tujuan menghalalkan cara’.

“Ilmu politik,” menurut Harold D Laswell, mengajarkan, “Siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana.” Pengertian itu sesungguhnya bersifat netral, karena untuk meraih tahta politik orang dapat melakukannya dengan cara-cara halal dan beretika politik. Tapi, bisa juga itu dikonotasikan secara negatif, bahwa “Tahta dapat diraih tanpa etika.” Tidaklah mengherankan jika tidak sedikit orang awam yang menyatakan “politik itu kotor, politik itu kasar, politik itu menghalalkan segala cara.” Benarkah begitu?

Jawabnya, “berpolitik tidaklah tanpa etika.” Di dalam demokrasi, siapa yang tidak beretika untuk meraih tahta atau singgasana politik, akan terhempas dari kekuasaan secara menyakitkan.

AS, sering disebut sebagai negara kampiun demokrasi. Kampanye pemilihan presiden (Pilpres) ditonton jutaan orang. Prof Dr William Liddle dari Ohio State University menyoroti kampanye pilpres AS kadang tidak beretika. Masing-masing kandidat saling menghantam pesaing dengan menyerang kelemahan individu, baik kehidupan pribadi, jejak rekam politik di masa lalu, sampai ke visi dan misinya.

Bagi Liddle, AS dapat belajar dari Indonesia yang dalam kampanye politik tidak saling menyerang. Apakah pandangan Bill Liddle benar? Terserah orang menilainya.

Adalah suatu kenyataan bahwa faktor moral masih dijunjung tinggi dalam masyarakat AS, khususnya pandangan mereka mengenai seorang calon pemimpin. Karena itu, tak heran bila para calon presiden -Barack Obama dan John McCain- dan para wakil presiden -Joe Biden dan Sarah Palin- mengakui masa lalu dan kekinian mereka yang buruk. Kata kuncinya adalah ‘kejujuran’ sebagai bagian dari etika politik di AS.

Di Indonesia, kenyataannya, meski Pilpres dan cawapres sebentar lagi, mereka yang akan mencalonkan diri jadi capres ataupun cawapres sudah mulai menyerang lawannya, termasuk soal kebijakan politik masa lalu, padahal pengeritik adalah juga anggota kabinet masa lalu. Sayang, hingga kini belum terdengar komentar para kandidat capres soal kandidat capres.

Jika kita menonton berbagai kampanye politik mereka yang terang-terangan akan mencalonkan diri jadi presiden atau yang masih belum jelas tujuan kampanye politiknya, juga cukup menggelikan. Ada yang mempersonifikasikan dirinya sebagai pembela petani dan pedagang di pasar tradisional, padahal pakaiannya sangat mentereng. Ada yang menyatakan “Hidup adalah perbuatan,” padahal saat membuat film kampanye ada seorang “bidan apung” antarpulau di Sulawesi yang ditipunya.

Ada yang makan nasi aking bersama rakyat di Jawa Tengah, tapi berpakaian bak pembesar negeri. Ada yang menyamakan dirinya dengan dua tokoh proklamator, padahal ia belum punya jejak rekam sebagai aktivis politik muda yang hidup dari penjara ke penjara demi membela bangsanya seperti kedua proklamator.

Etika lain yang ingin kita tonjolkan adalah soal politik uang. Apakah demi meraih tahta sang calon anggota legislatif atau capres harus menghamburkan uang untuk iklan di media massa cetak dan elektronik, ketika sebagian besar rakyat didera kemiskinan? Apakah untuk sejumlah kampanye politik mereka melakukan Bribe-and-kickbacks, yaitu bentuk korupsi dengan menerima bantuan dari para donatur pengusaha yang mengharapkan kemudahan bisnis di kemudian hari ketika yang dibantu telah meraih kekuasaan?

Apakah mereka juga membagi-bagi proyek pembangunan atau uang kepada rakyat pemilih agar memilih mereka pada Pemilu 2009? Adakah kebijakan negara melalui ‘Bantuan Langsung Tunai’ bukan bagian dari politik uang untuk pemenangan pilpres 2009?

Hal lain yang perlu disorot ialah apakah penegakan hukum sudah berjalan tanpa pandang bulu, atau hanya berlaku bagi mereka yang perlu ‘dikorbankan’ demi tujuan politik pencitraan?

Semua itu tentunya terkait etika politik untuk meraih kekuasaan. Tanpa etika, yang terjadi adalah machiavellisme. Jika itu terjadi, demokrasi kita masih merupakan “demokrasi kaum penjahat”, bukan demokrasi substansial.

ikrarnusabhkati

Teguhcipta/Fisipuntirta/ilkom


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun