Mohon tunggu...
Teguh Arief Septyawan
Teguh Arief Septyawan Mohon Tunggu... -

Seorang pembelajar Sepanjang Zaman

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Budaya ‘Marah’ Menjadi Gaya Kepemimpinan

12 Mei 2014   23:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Marah rupanya saat ini menjadi trending topic bagi sebagian pemimpin di Indonesia. Entah karena ingin memperbaiki sebuah sistem yang amburadul atau entah sebagai sebuah pencitraan diri belaka, namun marah kini bukanlah hal yang tabu untuk diketahui publik.

Sudah banyak pemimpin wilayah di Indonesia mengadopsi gaya ‘marah’ ketika berhadapan dengan sebuah sistem yang berantakan, ataupun berhadapan dengan personal yang menjadi bawahannya. Layaknya majikan memarahi pembantunya, ketika berbuat salah.

Baru saja kemarin, Ibu Walikota Surabaya dibuat marah-marah oleh aksi penyelenggaraan bagi es krim gratis yang menyebabkan taman kebanggaan kota Surabaya yaitu Taman Bungkul porak poranda bak diterjang badai.

Belum lama dari kejadian marah Ibu Risma, Gubernur Jawa Tengah saat ini Ganjar Pranowo juga mengambil sikap yang sama yaitu “marah” ketika mengkritisi pungutan liar di Jembatan Timbang Subah oleh oknum dinas perhubungannya.

Tak jauh dari insiden marah pak Ganjar, sikap marah-marah sudah dipraktekan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama aka Ahok ketika mengetahui adanya korupsi dalam pengadaan bus Transjakarta, juga dugaan ‘mark up’ petugas kebersihan.

Lalu apa yang menyebabkan para pemimpin diatas lebih sering marah-marah dibanding memberikan contoh atau memperbaiki sistem. Apakah ini sikap spontan atau disengaja ?Namun apakah marah itu dibenarkan ?

Mungkin sikap marah diatas adalah buah dari semrawutnya sistem birokrasi yang digunakan selama ini oleh pemerintah daerah. Menyebabkan ‘marah’ menjadi bom waktu bagi para atasan untuk menghukum bawahan dan sistem yang tidak benar.

Padahal ada cara yang lebih bijaksana, dibandingkan dengan sikap marah. Masih ingatkah anda ketika Presiden SBY menegur jajaran menterinya yang terlelap saat sidang kabinet. Atau masihkah ingat ketika Presiden SBY menegur peserta rapat di DPR yang lagi-lagi tertidur.

Sebenarnya sah-sah saja jika SBY bersikap marah-marah seperti yang dicontohkan pemimpin daerah belakangan ini, namun sikap tersebut tidak diambilnya, karena SBY menganggap masih ada cara lain untuk mempermalukan orang-orang yang bersalah. Mungkin dengan menegurnya secara langsung dan memberikan kalimat penekanan yang kuat.

Jangan sampai, budaya ketimuran Indonesia yang tersohor hingga dunia berubah 180 derajat dengan budaya marah-marah. Jangan sampai akhirnya seluruh pemimpin daerah kompak memakain sistem marah-marah sebagai gaya kepemimpinannya. Sehingga melupakan sistem musyawarah atau diskusi tanpa marah-marah sebagai solusi dari sebuah permasalahan.

Gaya kepemimpinan “Marah” yang diperlihatkan Bu Risma, Ganjar Pranowo dan Ahok memang bukan hal yang nilai negatif di mata masyarakat. Namun dikhawatirkan akan tergerusnya nilai budaya ketimuran yang dimiliki oleh Indonesia.

Anak bangsa ini bukanlah anak pemalas atau anak yang tidak bisa berubah, dan harus ditampar dengan marah-marah. Anak bangsa ini dilahirkan dari nilai budi pekerti yang luhur, yang mulai tergerus dengan nilai-nilai kebudayaan dari luar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun