[caption id="" align="aligncenter" width="530" caption="Banir di Pantura. nasional.viva.co.id"][/caption]
Banjir yang melanda kawasan Pantura belakangan ini berimbas luar biasa. Kerugian fisik dan ekonominya begitu terasa. Rumah-rumah penduduk digenangi air. Lahan-lahan pertanian terancam gagal panen. Aktivitas masyarakat terhenti. Jalanan rusak. Mobilitas orang dan barang terhambat. Kemacetan terjadi dimana-mana.
Kini yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah di waktu-waktu mendatang banjir akan menjadi rutinitas di kawasan ini?
Entahlah. Yang pasti, kawasan Pantura adalah kawasan yang rendah. Topografi Pantura sesungguhnya tak jauh berbeda dengan Jakarta. Rendah dan hampir sejajar dengan permukaan air Laut Jawa. Air yang datang dari dataran tinggi di kawasan tengah atau selatan Pulau Jawa, biasa terkirim ke kawasan ini.
Hanya, yang menjadikan Pantura dan Jakarta berbeda adalah tingkat kepadatan penduduk dan kepadatan bangunannya. Di kawasan Pantura, ruang-ruang hijau masih banyak tersedia. Gedung dan bangunan belum memenuhi tanah-tanahnya. Sawah dan perkebunan masih terhampar luas di kawasan ini.
Tapi, sampai berapa lama ruang-ruang hijau akan bertahan di kawasan Pantura? Kelak, jika pembangunan semakin massif dan penduduk semakin padat, bukankah Pantura secara perlahan akan mengikuti Jakarta? Nah, jika sudah begitu, bukankah banjir bisa saja menjadi pemandangan rutin di kawasan ini? Barangkali ini yang perlu kita renungkan.
Pastinya, sungguh bahaya jika banjir akhirnya menjadi rutinitas di Pantura. Dampak buruknya terlalu besar.
Untuk sekadar mengira-ngira, mari kita renungkan beberapa hal berikut ini:
Pertama, ada jutaan penduduk yang mendiami kawasan Pantura. Mereka tinggal dan bekerja di kawasan ini. Jika banjir terjadi, mereka adalah yang pertama kali terkena dampaknya. Tanah dan rumah mereka akan terendam air. Rutinitas harian mereka akan terhenti. Mereka menjadi korban. Mereka kehilangan potensi pendapatan.
Kedua, Pantura adalah nadinya Pulau Jawa. Pantura adalah jalur transportasi utama. Pantura menjadi jalur distribusi barang terbesar. Sepanjang hari, ribuan kendaraan melintas di kawasan ini. Nah, jika banjir menjadi rutinitas di kawasan ini, berapa kerugian yang harus kita derita? Arus distribusi barang akan terputus. Dampaknya, harga barang di pasaran akan mengalami kenaikan tajam.
Ketiga, Pantura adalah lumbung padi dan aneka tanaman lainnya. Area persawahan terhampar begitu luas di kawasan ini. Jika banjir melanda, gagal panen mengancam petani. Dampaknya, pasokan beras akan menurun tajam. Harga beras dan bahan pangan lainnya akan naik.
Keempat, sebagai dampak lanjutan dari ketiga hal di atas, negara mesti menanggung biaya yang tidak sedikit untuk menanganinya. Rekonstruksi semua elemen itu tentu membutuhkan dana yang besar. Negara mesti menangani para korban. Negara mesti memperbaiki jalanan yang rusak. Negara mesti menanggung biaya fisik, sosial, dan ekonomi yang ditimbulkan akibat banjir yang melanda Pantura.
Jadi, jika kelak banjir menjadi rutinitas tahunan di Pantura, siapkah kita menghadapi semua dampak buruk itu?
*****
BACA JUGA:
Dan Pantura Pun Terendam Banjir
Mencintai Jakarta, Belajar dari Bencana
Jakarta Bersih Berawal dari Rumah
Hutanku Dibabat, Mata Airku Lenyap
Merawat Bakau, Menjaga Hutan Bambu, Melawan Pemanasan Global
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI