Mohon tunggu...
Teguh Usis
Teguh Usis Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jurnalis yg masih terus belajar menulis tulisan populis yg manis-manis. Mengelana di dunia maya via @teguhusis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menyoal Rating Televisi

20 Desember 2013   20:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:41 4439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

17,8

Elementary Not Fin

14,1

Academy

3,4

University

4,6

Mari sekarang kita runut data sampling yang dipakai Nielsen, seperti pengkategorian di atas.

1. Jumlah sampling yang hanya 8.180, artinya hanya 0,0168 persen dari total universe sebanyak 48.573.783. Saya bukan orang statistik. Namun, melihat angka sampling yang tidak sampai satu persen ini, patut dipertanyakan sehahih apakah hasil yang diperoleh Nielsen?

2. Pada kategori usia, sample terbanyak Nielsen ada pada usia Teen (15 – 24 thn), sebanyak 21,3 persen. Padahal, hasil sensus penduduk oleh BPS pada 2010, memnunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar di Indonesia berdasarkan kategori usia adalah Kids (5 – 14 tahun). Dibandingkan dengan usia Adult pun, jumlah penduduk usia Teen masih tetap lebih sedikit.

3. Pada kategori SES, angka pengeluaran per bulan per keluarga yang dijadikan patokan oleh Nielsen, rasanya patut dipertanyakan. Apakah masih ada rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per bulan yang “hanya” Rp 700 ribu?

4. Kota di Indonesia yang dijadikan kota sample oleh Nielsen, juga patut digugat. Kenapa di Jakarta jumlah sample Nielsen paling besar? Lalu, kenapa ada kota-kota dengan cakupan greater alias sekitarnya, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Denpasar. Untuk Jakarta dan Surabaya, mungkin masih bisa dimaklumi. Namun, mengapa lebih memilih Yogyakarta dan Denpasar yang dicakupi pula dengan area sekitarnya, ketimbang Bandung, misalnya?

Setidaknya, itulah sejumlah celah yang bisa digunakan untuk “menggugat” data Nielsen.  Tentu bukan pada hasil akhirnya, melainkan pada penetapan pemilihan sampling berdasarkan beberapa kategori tadi.

Kualitas Program Tayangan

Itulah beberapa karut-marut penetapan kategori untuk mendapatkan sample Nielsen. Namun, patut pula untuk diingat bahwa hasil survei Nielsen ini sejatinya tidak menggambarkan kualitas sebuah program televisi. Data Nielsen semata hanya berupa data kuantitatif. Memang, pengelola televisi tetap memakai data Nielsen lantaran pengiklan juga menggunakannya sebagai alat ukur menempatkan promosi produknya.

Karena itu, jangan heran bila ada sebuah program yang dianggap masyarakat berkualitas, namun mendapatkan rating yang kecil. Program Kick Andy, umpamanya. Bagi yang tidak melek rating, bisa jadi mengira bahwa program yang penuh inspirasi ini memperoleh rating tinggi. Olala..., salah besar. Kick Andy hanya memperoleh rating 0 (nol) koma sekian, dengan share 1 (satu) koma sekian.

Namun, sayangnya angka rating inilah yang sampai saat ini masih tetap menjadi patokan pengelola stasiun televisi untuk mengambil keputusan: terus atau stop sebuah program. Bagi pengelola televisi, rating ini ibarat buah simalakama. Bisa diabaikan, dengan alasan program ber-rating kecil diyakini bagus secara kualitas. Namun, jika program yang bersangkutan sudah tak lagi diminati pemasang iklan, alamat harus bersiap program tersebut disudahi saja.

Sebenarnya ada satu parameter lagi – yang juga dikeluarkan Nielsen – untuk melihat tingkat kesesuaian penempatan promosi sebuah produk dengan target audiens yang disasar oleh produk bersangkutan. Namanya index. Index = (Angka rating pemirsa target (TARPs) / Total Rating) x 100%. Misalnya:

TVR program A = 0,2

TVR SES A (SES target produk) = 0,3

Index = ( 0,6 / 0,2) x 100 % = 150

(Index > 100 --> sangat efektif, Index = 100 --> efektif, Index < 100 --> kurang efektif)

Jadi, jika sebuah produk yang sudah jelas bahwa sasaran pembelinya adalah audiens berkategori SES A, maka sangat efektif beriklan pada program tersebut, kendati ratingnya hanya 0,2.

Televisi adalah industri

Belakangan amat banyak pihak yang menyoal akurasi data Nielsen. Gugatannya, misalnya, berupa pertanyaan mengapa program berkualitas di televisi anu ratingnya hanya sekian? Sementara, sinetron yang isinya cuma jualan air mata palsu dengan pemeran yang tidak pas secara usia, ratingnya bisa selangit?

Pertanyaan yang amat wajar. Apalagi, di saat kini semakin banyak pihak yang merindukan tayangan program televisi yang bernilai edukasi – selain tentu menghibur, karena inilah kodrat televisi – tinimbang program televisi yang miskin nilai dan muatan. Pertanyaan ini tentu menggelitik para pengelola televisi. Keinginan untuk menghadirkan tayangan bermutu, sekaligus bisa meraup rating tinggi, adalah cita-cita nyaris semua pekerja televisi.

Muncullah pertanyaan: kenapa harus berpatokan pada data Nielsen? Bagi pengelola televisi, tak ada pilihan selain Nielsen untuk memperoleh “alat ukur keberhasilan” program yang ditayangkan. Bisa saja mengabaikan Nielsen, sembari bertepuk dada, “Program yang kami tayangkan bagus kok. Puja-puji bermunculan di media sosial. Beberapa award juga kami peroleh”.

Namun, jika pada kenyataannya stasiun televisi yang bersangkutan tidak bisa mendapatkan income lantaran tak ada pengiklan yang masuk, rasanya bakal percuma saja segala puja-puji itu. Terkecuali bila si pemilik televisi memang dengan kerelaan yang tinggi membuang uangnya begitu saja.

Televisi kini sudah berada pada tataran industri. Pada televisi berkelindan modal besar karena peralatan televisi mengusung teknologi canggih berharga mahal. Bagi stasiun televisi yang sebagian besar program tayangannya diproduksi sendiri (inhouse production) tentu jumlah karyawannya banyak. Artinya, pengeluaran untuk gaji karyawan juga besar. Sedangkan stasiun televisi yang mengandalkan program tayangan dari luar, harus pula mengeluarkan jumlah uang besar untuk membeli program. Untuk diketahui saja, sebuah sinetron kelas A harganya bisa mencapai Rp 400 juta per episode.

Tentu bisa dibayangkan jika sebuah stasiun televisi tidak bisa mendatangkan pengiklan. Keuangan stasiun televisi yang bersangkutan sudah bisa dipastikan berdarah-darah. Ujung-ujungnya, stasiun televisi tersebut bakal bangkrut atau dijual ke pihak lain yang punya uang cukup. Nasib karyawannya pasti bakal luntang-lantung.

Audit Rating

Dengan kondisi semacam ini, rating laksana lingkaran setan: diperlukan, tapi tak jarang juga dihujat. Sebagai industri, televisi bersifat seperti layaknya sebuah korporasi yang bertujuan mencari profit. Pabrik mobil, misalnya, mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual mobil dengan biaya produksi pembuatan mobil. Televisi mendapatkan keuntungan dari menjual sebagian durasi tayangnya kepada pihak pengiklan.


Untuk menarik minat pengiklan, televisi butuh program tayangan yang banyak ditonton audiens. Dari mana data ihwal banyak sedikitnya penonton bisa didapat? Di sinilah lembaga survei berperan. Dan, di Indonesia, hanya satu lembaga yang melakukan survei kepemirsaan: Nielsen. Tak ada lembaga riset pembanding.

Kondisi tanpa saingan ini sebenarnya amat berbahaya. Bukan tanpa alasan bila selama ini banyak yang mencurigai Nielsen. Pertanyaan semacam “bisakah Nielsen dibayar oleh stasiun televisi agar rating stasiun yang bersangkutan tinggi?” menjadi pertanyaan yang sering terdengar.

Agar tak semakin banyak wasangka kepada Nielsen, sudah saatnya pula Nielsen berbenah. Setidaknya, perbaiki dulu kategori penetapan sample. Beberapa “gugatan” seperti tertulis di atas, bisa menjadi masukan bagi Nielsen. Memang, tak sedikit biaya yang dikeluarkan Nielsen untuk melakukan survei kepemirsaan ini. Artinya, jika Nielsen menambah jumlah sample-nya, tentu butuh biaya yang cukup besar.


Ada pula langkah lain yang bisa ditempuh agar hasil data dan analisis Nielsen menjadi semakin kredibel. Sudah saatnya di Indonesia ada lembaga independen yang mengaudit data Nielsen. Ini seperti lembaga pengawas atau lembaga etik pada beberapa instansi yang punya kekuasaan luar biasa. Hakim, umpamanya, diawasi oleh Komisi Yudisial.

Keberadaan lembaga audit Nielsen ini sepertinya sudah cukup mendesak. Jika tidak, kualitas tayangan televisi di Indonesia tak bakal beranjak dari seperti yang sekarang. Sebabnya tak lain karena nyaris semua televisi besar yang berkedudukan di Jakarta sudah “menghamba” kepada Nielsen. Padahal, masyarakat butuh tontonan yang mendidik dan bernilai, tak cuma sekadar hiburan atau sinetron penguras air mata. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun