" Maqosidul Syar 'i dalam konsep Negara adalah manifestasi sifat Ilahiah di muka bumi, maka norma yang harus diusung adalah keadilan, cinta kasih dan kebersamaan. Dalam konteks ino keadilan tidak boleh memihak baik faktor agama, suku, dan keyakinan," tambahnya.
Lebih lanjut Syafieq menegaskan bahwa konteks memilih pemimpin adalah berdasarkan kinerja dan gagasan dalam memajukan bangsa. "Persoalan pemerintah adalah persoalan masyarakat. Kepemimpinan di pilih berdasarkan sejauh mana ia mampu mensejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial. Harus di lihat track recordnya," tandasnya.
Terkait adanya perbedaan tafsir dalam memilih pemimpin non muslim, Syafieq menyampaikan bahwa perbedaan pendapat adalah rahmah, jadi tidak di bolehkan memaksakan tafsir tersebut,
" Perbedaan pendapat ulama dalam memilih pemimpin muslim itu menunjukan ragam keilmuan Islam yang begitu kaya.
Tidak boleh mematenkan tafsir keagamaan. Konflik menjadi terbuka ketika ada pemaksaan mono tafsir. Al mawardi membolehkan pemimpin non muslim, ibnu Taimiyah juga mengisyaratkan boleh non muslim jadi pemimpin. Kita kembalikan pada masyarakat untuk memilih yang mana. Tapi tidak boleh memaksakan kehendak" ujar Syafieq menutup wawancara. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H