Mohon tunggu...
Teguh puryanto
Teguh puryanto Mohon Tunggu... -

Jurnalis, penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini yang Terpasung Semen

15 April 2016   15:38 Diperbarui: 20 April 2016   23:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perempuan kendeng"][/caption]Ranjang kayu kecil di tata berjajar, kanan dan kiri di kedua sisi tembok. Sembilan orang perempuan, terbaring di atas kasur tipis berselimut kain di atas ranjang di Kantor LBH Jakarta itu. Kaki mereka berselonjoran lunglai, kain jarik membalutnya. (foto: JMPPK)

Beberapa bagian di telapak kaki sembilan perempuan itu nampak memutih, berkeriput.

Wajah mereka yang kendati terlihat lelah namun bersinar. Sembilan Perempuan itu adalah Supini, Surani, Riem Ambarwati, Deni, Ngadinah, Sukinah, Karsupi, Murtini dan Surani. Sembilan perempuan warga pegunungan Kendheng di Pati, Jawa tengah yang mengecor kaki mereka dengan semen sebagai aksi menolak pendirian pabrik semen di wilayah mereka. Sudah tiga hari sejak Senin (11/4/2016) mereka di Jakarta menjalankan aksi protes tersebut. Pada Selasa (12/4/2016) siang di depan Istana Negara, 9 perempuan itu menampar penghuni Istana Negara dengan ‘menanam' kaki mereka di kotak berisi semen.

Lamat-lamat terdengar tembang Ibu pertiwi dari bibir Murtini, Ibu pertiwi/ Paring boga lan sandhang/ Kang murakabi/ Peparing rejeki/ Manungsa kang bekti/ Ibu Pertiwi/ Ibu Pertiwi/ Kang adil luhuring budi/ Ayo sungkem mring/ Ibu Pertiwi // Suara Murtini, terdengar lembut

Bibirnya tersenyum saat penulis mendekat. Tangan kami berjabat erat, ia menanyakan dari mana asal penulis.

“Mas dari mana, tadi datang ke Istana geh?” tanya Murtini. Penulis menggeleng, karena siang tadi memang tidak hadir di Istana meliput aksi mereka.
Seakan sudah kenal lama, dengan bahasa daerah kepada penulis Murtini berkisah tentang lahan Sawah di kampungnya Pati, yang berlokasi di kawasan karst Kendeng, Jawa Tengah. Pada musim labuhan ia menanam padi, jika musim katiga ia menanam palawija atau buah.

Bagi Murtini bertani adalah nadi kehidupan mereka. Bertani membutuhkan tanah, membutuhkan air sebagai salah satu unsur yang sangat penting guna mengolah lahan. Selain itu petani juga menggunakan hewan ternak (sapi) untuk membantu dalam pengelolaan lahan. Ini adalah sebuah hubungan timbal balik yang telah ada dan turun temurun antara warga dan pegunungan karst Kendheng.

Namun kini hubungan timbal balik tersebut terancam dengan adanya rencana pendirian pabrik semen. Pendirian pabrik semen yang dilakukan oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), anak perusahaan Indocement. Pabrik itu menggali perut bumi dan memporak-porandakan mata air di tanah karst yang selama ini mereka jaga.

[caption caption="di tenda inilah mereka tinggal selama lebih dari 668 hari (foto: JMPPK)"]

[/caption]Dalam web Oemahkendeng.com dituturkan bahwa Kendeng merupakan pegunungan khas purba dan pegunungan yang melahirkan peradaban jawa “Ha, na, ca, ra, ka”. Adanya peninggalan Dampo Awang di Kecamatan Tambakromo, penemuan candi kuno di Kecamatan Kayen, Makam para sunan dan situs pewayangan di Kecamatan Sukolilo. Itu semua menjadi deretan bukti kekayaan Arkeologi khususnya di Kendeng Utara.

Menurut kajian Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), CAT Watuputih mampu menyuplai air sebanyak 51 juta liter per hari dari 109 mata air. Dari debit sebesar itu, 10 persennya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan warga di 14 kecamatan, dan sisanya untuk pengairan sawah. Tak heran bila pada tahun 2011, lahir Keputusan Presiden tentang penetapan Cekungan Air Tanah di mana CAT Watuputih termasuk kategori B yang wajib dilindungi.

Maka tak heran bila kemudian pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberi lampu hijau kepada investasi semen di wilayahnya. Sebagian besar memanfaatkan barisan pegunungan Kendeng yang menyimpan deposit batu gamping dan membentang di enam kabupaten: Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Blora, dan Grobogan.

Tapi di pegunungan Kendeng itulah Murtini dan kawan-kawannya hidup, bersahabat dan saling memberi dengan ' ibu bumi' mereka. Masih menurut data JMPPK, terdapat lebih dari 10.000 haktar lahan pertanian yang dipertaruhkan. Padahal, setiap hektar sawah dapat menghidupi 146 orang, termasuk tenaga kerja. Itu belum termasuk 4,7 juta jiwa yang hidup di lima kabupaten yang menggantungkan sumber air tanah dari pegunungan Kendeng.

Berebut Merah Putih di Lereng Kendeng

Perjuangan Murtini dan kawan-kawannya di mulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Tepat di hari peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen di Rembang, mereka mendirikan tenda di areal pabrik. Dan hingga hari ini terhitung sudah 668 hari ratusan ibu-ibu ini bertahan hidup di tenda tenda terpal. Bergantian secara piket tinggal di tenda tersebut, semua aktivitas dilakukan disana. Meninggalkan kehangatan rumah, suami dan anak. Tapi suara mereka tampaknya belum didengar. Pembangunan pabrik masih berjalan. Alat-alat berat masih menjelajahi area pembangunan pabrik, menghamburkan debu-debu yang seolah ikut meredam suara mereka.

[caption caption="Terus melawan" (foto: JMPPK)]

[/caption]Entah sudah berapa kali aksi mereka gelar, mereka sendiripun sudah lupa. Berapa kali mereka pergi ke Jakarta, mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Markas Besar Polri, Balai Kota DKI Jakarta, Komisi Yudidial, Mahkamah Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengadukan perusakan "ibu bumi" mereka. Bahkan jalan kaki, Rembang Semarang mereka lakukan

"Ibu Bumi sayang anaknya. Dia sudah begitu baik dengan kita. Apa yang kami tanam akan tumbuh, kami dikasih tanah yang subur, kalau kami bubuti dia akan diam saja. Kami seorang ibu bisa merasakan sakitnya kalau dirusak. Kenapa tidak ingat dengan ibu kita yang sudah begitu baik," kata Murtini.

"Kami berharap pemerintah memperhatikan lingkungan dan alam kami yang dirusak. Pertanian seharusnya diprioritaskan, tanah subur begitu indahnya kok dirusak. Menukar tanah kami dengan uang, tidak mungkin. Tanah adalah warisan untuk anak cucu kami" katanya.
Ibu-ibu itu berada di barisan terdepan warga Rembang dalam upaya melindungi lingkungan tempat tinggal dari kerusakan. Demi melindungi kawasan karst Kendeng Utara, mereka rela meninggalkan anak dan suami di rumah dan tidur di tenda, dan kadang menjadi korban kekerasan aparat.

"Saya aksi sama teman-teman memblokir jalan di pintu masuk arah menuju tapak pabrik. Saya diangkat empat aparat lalu dilempar kemudian dipukul," kata Murtini, ibu satu anak yang sebelumnya mengaku penderita sakit jantung ini.

[caption caption="Aksi yang terkadang berujung bentrok dengan aparat (foto: JMPPK)"]

[/caption]Dalam salah satu video dokumenter tahun 2014 yang di tunjukan Murtini pada penulis, terlihat bagaimana ibu ini sedang berebut bendera merah putih dengan aparat. Ia tahu akan kalah, tetapi ia terus melawan, ia terus menarik merah putihnya yang akan di sita aparat. Tetapi sekali lagi, ia hanyalah seorang perempuan. Sikut dari aparat tersebut mengenai dahi Murtini dengan keras, tubuhnya limbung di sangga kawannya. Kepalanya benjol besar "Kami ingin mempertahankan ibu pertiwi ini." tuturnya pada penulis.

Perlawanannya berbuah keajaiban, setelah berpuluh kali terlibat dalam aksi penolakan semen, sakit jantung yang di derita ibu satu anak ini sembuh. Bukan karena apa, tetapi karena ia terus melawan,

"Saya sudah tidak takut apa-apa lagi. Sakit jantung saya juga sembuh. Sekarang Keluarga sudah mewakafkan saya. Mati itu bukan apa asalkan anak cucu saya tetap memiliki tanah," ujarnya Murtini dengan mimik datar sembari memijit kakinya yang terasa pegal usai pasungan semen di kakinya terlepas.

Bersama Sedulur Saya Berdiri

Di satu sudut ruangan LBH Jakarta, seorang perempuan dengan jilbab hitam dan berkulit putih sedang asyik menata meja makan. Namanya Michele, gadis ayu alumni IPB yang kini bekerja sebagai karyawan BUMN perbankan di Jakarta. Sejak tahun 2014 lalu , gadis dengan lesung pipit ini telah ikut terlibat dalam aksi warga pegunungan kendheng ini. Michele ikut tergugah untuk berada dalam barisan perlawanan mereka, berada dalam satu barisan dengan mereka yang bukan apa dan siapanya

"Rumah saya tidak terdampak, tapi semangat mereka. Keihklasan mereka, fitnah dan intimidasi yang di alami mereka yang mendorong saya untuk berdiri dalam barisan ini, " tutur gadis ayu ini sembari membalikan handphone bergambar tokoh perlawanan Che guevara, miliknya.

Selama ini Michele, lebih banyak berada di belakang layar, menyusun pers rilis, membantu logistik, termasuk menjadi petugas medis darurat yang membantu aksi ibu-ibu pegunungan kendeng

"Saya selalu merinding melihat mereka, kepada mereka saya belajar tentang semangat. Mereka adalah simbol perlawanan petani pada korporasi dan birokrasi, " tutur Michele sembari memijit kaki Surtini salah satu peserta aksi ' di pasung semen' tersebut.

"Jokowi harus beri dukungan sepenuhnya untuk menolak pembangunan pabrik semen karena itu mengganggu pertanian dan sumber air di sana. Para sedulur ini adalah petani, hidup sebagai petani, dan mati sebagai petani. Tanah bagi mereka adalah ibu. Hanya orang tidak waras yang mau menyerahkan ibunya pada pabrik semen," tutur Michele dengan mata berkaca.

Di samping Michele ada Alexandra Herlina, Dokter asal Surabaya yang setia mendampingi warga kendheng dalam berbagai aksinya. Ia yang memastikan bagiamana kesehatan ibu-ibu ini terjaga. Ia membantu mencari formula yang terbaik untuk menjaga agar perlawanan mereka tidak membawa korban,

"Semangat mereka luar biasa. Tetapi perlawanan tetap harus zero korban dan resiko. Keputusan mengecor kaki mereka sudah kami perhitungkan sedetil mungkin agar resiko cedera mereka minim. Gips yang paling lunak, komposisi kotak cor, dan berbagai pertimbangan medis sudah kami perhitungkan," tutur sang dokter. " Penderitaan mereka dalam perjuangan ini sudah besar, tugas saya memastikan bagaimana kesehatan tidak menambah beban penderitaan mereka," tuturnya tegas.

‘Palagan Akhir Sukinah’

Perjuangan warga Rembang menjadi kunci. Bila pabrik semen dibangun di wilayah itu maka perusahaan tambang lain juga akan masuk ke Pegunungan Kendeng Utara.

Sukinah, salah satu tokoh aksi menolak pabrik semen di pegunungan kendeng. Posko penolakan pabrik semen yang berdiri sejak 1 Juni 2014, terletak di tanah milik Sukinah. Di tanah itulah garis komando perjuangan mereka di rancang dan di susun. Di tanah itu Sukinah menuturkan mereka pernah di pukuli, di lempar ke parit dan di intimidasi. 

Ketika penulis mendatangi Sukinah, ia tengah bersiap untuk sebuah wawancara dengan sebuah stasiun berita. Dengan guyon ia pamit pada penulis , “ amit mas yo aku tak dadi artis dulu. Jangan pergi dulu nanti aku cerita yang akeh” ujarnya dengan logat lokal campuran.

Sekitar setengah jam menunggu, Sukinah menghampiri penulis lagi. Di temani kopi, ia mengungkapkan bahwa pembangunan pabrik semen di Jawa Tengah memang mengincar kawasan karst kendeng. Selain di Rembang, Pati, Grobogan, Blora, Wonogiri, Kebumen, Banjar Negara, dan Muria juga di ajukan ijin yang sama.

Sebelum pendirian pabrik semen itu bergulir, Sukinah tak pernah membayangkan ia akan tinggal di tenda dan berada dalam barisan aksi yang olehnya di sebut “ unjuk rasa” ini. 

Pada hari aksi ketika peletakan batu pertama pabrik semen, mereka menduduki tapak pabrik untuk kali pertama. Sejak itu Sukinah berikrar tidak akan mundur sampai pabrik semen hengkang dari tanah kelahirannnya. Ibu-ibu lain mengikuti janji Sukinah.

Ia tak pernah menyangka aksi mereka ,mendapat simpati yang luar biasa dari banyak pihak. Video mereka di usir dalam aksi pendudukan tapak pabrik menjadi viral di media sosial. Solidaritas untuk warga Kendeng mengalir dari berbagai penjuru; dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan lain-lain. Para ibu di Rembang tidak berjuang untuk mereka sendiri, tapi juga untuk orang-orang Jawa Tengah.

Keputusan Sukinah dan kawan untuk memasung kaki adalah simbol teriakan ibu yang memanggil kembali Jokowi yang kini Presiden. Seorang putra solo yang pernah berjanji untuk merampungkan masalah pabrik semen tersebut.

‘’Di kantor Gubernur DKI Jakarta, sebelum jadi bapak Presiden, beliau sudah berjanji untuk membantu merampungkan masalah pabrik Semen. Sekarang kami memanggil beliau kembali dengan kaki yang di pasung semen’’ tutur Sukinah. 

Perjuangan mereka memang sarat simbol. Mereka menjadikan caping, kendi, lesung dan memasung kaki dengan semen sebagai simbol perjuangan.

"Kaki kami yang terpasung semen itu simbol bagi kami yang terpasung semen. Sedang kendi adalah sebagai tempat untuk air. Kalau kendi pecah, air akan hilang, tidak ada kehidupan. Lesung, caping dan tembang adalah simbol petani. Jika caping tak lagi di kenakan, lesung tak lagi di tabuh, dan bibir petani sudah tak lagi menembang maka kiamat akan datang" kata Sukinah yang sempat di buru aparat ini.

"Kami sudah cukup menghidupi keluarga kami dari tani. Tidak mungkin kalau ada pabrik semen kami akan tambah makmur, mungkin malah tambah sengsara. Kalau pemerintah tidak menghiraukan kami, rakyat kecil, kami akan berjuang sama-sama," katanya.

"Jika hari ini ibu-Ibu ini sepakat membuka pasungan semen di kakinya , itu karena percaya bahwa pesan mereka sudah sampai ke Bapak Presiden lewat Kantor Staff Kepresidenan, mereka punya rasa percaya pada Bapak untuk melindungi alam mereka dan alam Indonesia. Jangan langgar kepercayaan ini. Karena janji itu malati," tutup Sukinah.

Bagi Sukinah, perjuangan mereka di Rembang dan pegunungan Kendeng adalah palagan akhir. Terus melawan, atau patah binasa.

[caption caption="Perlawanan yang sarat simbol (foto: JMPPK)"]

[/caption]Argggggh...banyak hal yang harus ku tulis. Tetapi satu hal yang pasti, Kartini itu tidak satu, tapi beribu di Kendheng" dan perempuan-perempuan kendeng utara adalah satu dari beribu kartini itu.

Penulis termenung, lantunan tembang ibu pertiwi kembali terngiang di kepala. Ibu pertiwi/ Paring boga lan sandhang/ Kang murakabi/ Peparing rejeki/ Manungsa kang bekti/ Ibu Pertiwi/ Ibu Pertiwi/ Kang adil luhuring budi/ Ayo sungkem mring/ Ibu Pertiwi

Ah…kalian, ijinkan sebentar saja aku pijit kakimu.

http://bersatoe.com/2016/04/15/melepas-pasung-semen-kartini-kendeng/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun