Mohon tunggu...
Teguh puryanto
Teguh puryanto Mohon Tunggu... -

Jurnalis, penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini yang Terpasung Semen

15 April 2016   15:38 Diperbarui: 20 April 2016   23:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi di pegunungan Kendeng itulah Murtini dan kawan-kawannya hidup, bersahabat dan saling memberi dengan ' ibu bumi' mereka. Masih menurut data JMPPK, terdapat lebih dari 10.000 haktar lahan pertanian yang dipertaruhkan. Padahal, setiap hektar sawah dapat menghidupi 146 orang, termasuk tenaga kerja. Itu belum termasuk 4,7 juta jiwa yang hidup di lima kabupaten yang menggantungkan sumber air tanah dari pegunungan Kendeng.

Berebut Merah Putih di Lereng Kendeng

Perjuangan Murtini dan kawan-kawannya di mulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Tepat di hari peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen di Rembang, mereka mendirikan tenda di areal pabrik. Dan hingga hari ini terhitung sudah 668 hari ratusan ibu-ibu ini bertahan hidup di tenda tenda terpal. Bergantian secara piket tinggal di tenda tersebut, semua aktivitas dilakukan disana. Meninggalkan kehangatan rumah, suami dan anak. Tapi suara mereka tampaknya belum didengar. Pembangunan pabrik masih berjalan. Alat-alat berat masih menjelajahi area pembangunan pabrik, menghamburkan debu-debu yang seolah ikut meredam suara mereka.

[caption caption="Terus melawan" (foto: JMPPK)]

[/caption]Entah sudah berapa kali aksi mereka gelar, mereka sendiripun sudah lupa. Berapa kali mereka pergi ke Jakarta, mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Markas Besar Polri, Balai Kota DKI Jakarta, Komisi Yudidial, Mahkamah Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengadukan perusakan "ibu bumi" mereka. Bahkan jalan kaki, Rembang Semarang mereka lakukan

"Ibu Bumi sayang anaknya. Dia sudah begitu baik dengan kita. Apa yang kami tanam akan tumbuh, kami dikasih tanah yang subur, kalau kami bubuti dia akan diam saja. Kami seorang ibu bisa merasakan sakitnya kalau dirusak. Kenapa tidak ingat dengan ibu kita yang sudah begitu baik," kata Murtini.

"Kami berharap pemerintah memperhatikan lingkungan dan alam kami yang dirusak. Pertanian seharusnya diprioritaskan, tanah subur begitu indahnya kok dirusak. Menukar tanah kami dengan uang, tidak mungkin. Tanah adalah warisan untuk anak cucu kami" katanya.
Ibu-ibu itu berada di barisan terdepan warga Rembang dalam upaya melindungi lingkungan tempat tinggal dari kerusakan. Demi melindungi kawasan karst Kendeng Utara, mereka rela meninggalkan anak dan suami di rumah dan tidur di tenda, dan kadang menjadi korban kekerasan aparat.

"Saya aksi sama teman-teman memblokir jalan di pintu masuk arah menuju tapak pabrik. Saya diangkat empat aparat lalu dilempar kemudian dipukul," kata Murtini, ibu satu anak yang sebelumnya mengaku penderita sakit jantung ini.

[caption caption="Aksi yang terkadang berujung bentrok dengan aparat (foto: JMPPK)"]

[/caption]Dalam salah satu video dokumenter tahun 2014 yang di tunjukan Murtini pada penulis, terlihat bagaimana ibu ini sedang berebut bendera merah putih dengan aparat. Ia tahu akan kalah, tetapi ia terus melawan, ia terus menarik merah putihnya yang akan di sita aparat. Tetapi sekali lagi, ia hanyalah seorang perempuan. Sikut dari aparat tersebut mengenai dahi Murtini dengan keras, tubuhnya limbung di sangga kawannya. Kepalanya benjol besar "Kami ingin mempertahankan ibu pertiwi ini." tuturnya pada penulis.

Perlawanannya berbuah keajaiban, setelah berpuluh kali terlibat dalam aksi penolakan semen, sakit jantung yang di derita ibu satu anak ini sembuh. Bukan karena apa, tetapi karena ia terus melawan,

"Saya sudah tidak takut apa-apa lagi. Sakit jantung saya juga sembuh. Sekarang Keluarga sudah mewakafkan saya. Mati itu bukan apa asalkan anak cucu saya tetap memiliki tanah," ujarnya Murtini dengan mimik datar sembari memijit kakinya yang terasa pegal usai pasungan semen di kakinya terlepas.

Bersama Sedulur Saya Berdiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun