Tapi di pegunungan Kendeng itulah Murtini dan kawan-kawannya hidup, bersahabat dan saling memberi dengan ' ibu bumi' mereka. Masih menurut data JMPPK, terdapat lebih dari 10.000 haktar lahan pertanian yang dipertaruhkan. Padahal, setiap hektar sawah dapat menghidupi 146 orang, termasuk tenaga kerja. Itu belum termasuk 4,7 juta jiwa yang hidup di lima kabupaten yang menggantungkan sumber air tanah dari pegunungan Kendeng.
Berebut Merah Putih di Lereng Kendeng
Perjuangan Murtini dan kawan-kawannya di mulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Tepat di hari peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen di Rembang, mereka mendirikan tenda di areal pabrik. Dan hingga hari ini terhitung sudah 668 hari ratusan ibu-ibu ini bertahan hidup di tenda tenda terpal. Bergantian secara piket tinggal di tenda tersebut, semua aktivitas dilakukan disana. Meninggalkan kehangatan rumah, suami dan anak. Tapi suara mereka tampaknya belum didengar. Pembangunan pabrik masih berjalan. Alat-alat berat masih menjelajahi area pembangunan pabrik, menghamburkan debu-debu yang seolah ikut meredam suara mereka.
[caption caption="Terus melawan" (foto: JMPPK)]
"Ibu Bumi sayang anaknya. Dia sudah begitu baik dengan kita. Apa yang kami tanam akan tumbuh, kami dikasih tanah yang subur, kalau kami bubuti dia akan diam saja. Kami seorang ibu bisa merasakan sakitnya kalau dirusak. Kenapa tidak ingat dengan ibu kita yang sudah begitu baik," kata Murtini.
"Kami berharap pemerintah memperhatikan lingkungan dan alam kami yang dirusak. Pertanian seharusnya diprioritaskan, tanah subur begitu indahnya kok dirusak. Menukar tanah kami dengan uang, tidak mungkin. Tanah adalah warisan untuk anak cucu kami" katanya.
Ibu-ibu itu berada di barisan terdepan warga Rembang dalam upaya melindungi lingkungan tempat tinggal dari kerusakan. Demi melindungi kawasan karst Kendeng Utara, mereka rela meninggalkan anak dan suami di rumah dan tidur di tenda, dan kadang menjadi korban kekerasan aparat.
"Saya aksi sama teman-teman memblokir jalan di pintu masuk arah menuju tapak pabrik. Saya diangkat empat aparat lalu dilempar kemudian dipukul," kata Murtini, ibu satu anak yang sebelumnya mengaku penderita sakit jantung ini.
[caption caption="Aksi yang terkadang berujung bentrok dengan aparat (foto: JMPPK)"]
Perlawanannya berbuah keajaiban, setelah berpuluh kali terlibat dalam aksi penolakan semen, sakit jantung yang di derita ibu satu anak ini sembuh. Bukan karena apa, tetapi karena ia terus melawan,
"Saya sudah tidak takut apa-apa lagi. Sakit jantung saya juga sembuh. Sekarang Keluarga sudah mewakafkan saya. Mati itu bukan apa asalkan anak cucu saya tetap memiliki tanah," ujarnya Murtini dengan mimik datar sembari memijit kakinya yang terasa pegal usai pasungan semen di kakinya terlepas.
Bersama Sedulur Saya Berdiri