Â
Seorang balita berbaju merah, bersepatu biru tertelungkup di atas pasir. Sesekali tangannya tergerak digoyangkan ombak. Air laut disertai pasir membelai tubuh kakunya.
Aylan Kurdi nama bocah itu, seorang balita penduduk Suriah. Aylan Kurdi bersama dengan kakak dan juga kedua orang tuanya berniat untuk mencari tempat perlindungan yang aman dari perang di Suriah yang tak kunjung selesai. Mereka mencoba ingin melepaskan diri dari bunyi bom yang hampir setiap hari mereka dengar.
Namun, takdir berkata lain. Kapal yang mereka naiki tenggelam. Aylan Kurdi, kakaknya, Galip dan ibunya, Rihan tewas. Yang tersisa dari keluarganya hanya sang ayah, Abdullah. Abdullah tak henti menangisi kepergian orang – orang terkasihnya. Foto- foto Aylan kemudian ramai menghiasi laman media sosial tersebar secara viral.
Seperti hal cerita perang lainnya, tidak saja korban manusia, tetapi hancurnya infrastruktur publik seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, taman bermain, pasar, perumahan, ladang pertanian peternakan, serta terputusnya sanitasi air bersih adalah konsekuensi mengerikan. Tetapi cerita itu juga diikuti dengan meledaknya jumlah pengungsi. Mereka adalah korban nyata yang merasakan kegetiran dari perang berkepanjangan yang menghancurkan kehidupan normal dan damai mereka. Mereka bukanlah orang-orang yang menyebabkan perang, tetapi mereka sekelompok orang yang paling menderita. Mereka tidak mengangkat senjata tetapi mereka merasakan sendiri hujaman peluru-peluru dari senjata yang dimuntahkan dari para pihak yang berperang. Ambisi politik dan kekuasaan merenggut ambisi kebajikan dari masa depan anak-anak.
Baru - baru ini mata kita di buat terbelalak negara Timur tengah yang kaya Arab saudi, Oman, Qatar , kuwait, Turki, Uni Emirat Arab menyatakan menolak menerima kedatangan pengungsi.
Diakui enam negara Teluk itu menyumbang sekitar 900 juta US Dollar untuk membantu pengungsi. Tapi jumlah donasi Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Uni Emirat Arab digabungkan kalah jika dibanding jumlah sumbangan Inggris, yang sudah mencapai 1,3 milyar US Dollar. Inggris juga membatasi penerimaan jumlah pengungsi.
Belum lama ini Arab Saudi mendirikan pagar kawat berduri di sepanjang perbatasannya ke Irak yang juga dijaga pasukan bersenjata, dengan alasan mencegah penyusupan "jihadis" ISIS ke wilayahnya. Namun para pengamat menilai, pagar ini juga upaya mencegah masuknya pengungsi Suriah lewat Irak ke negara kayaraya itu.
Antara 10 hingga 12 juta warga Suriah melarikan diri ke luar negeri, akibat perang saudara berdarah yang berkecamuk di negaranya. Sekitar 4 juta diantarnya mengungsi ke negara tetangga Turki, Libanon dan Yordania. Ratusan tibu berusaha masuk ke Eropa. Sisanya menjadi pengungsi di negara sendiri.
Menjadi pengungsi adalah pilihan rasional bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan sambil berharap perdamaian akan datang setelahnya. Tetapi pengungsi itu sendiri adalah juga problematika besar yang terpaksa dihadapi banyak negara-negara tetangga. Mereka terpaksa menerima banjiran pengungsi dari daerah-daerah konflik, baik Syria dan Irak. Dari data UNHCR untuk penanganan masalah pengungsi konflik Syria saja, tercatat lebih 4 juta orang menjadi pengungsi di negara-negara tetangga mereka. Turkey menjadi tempat bagi 1,9 juta pengungsi, Lebanon menampung 1,1 juta, Jordania 630 ribu, irak sendiri yang juga berkonflik dengan ISIS kebagian 250 ribu, dan Mesir mengakomodasi sebanyak 132 ribu pengungsi.
Sementara ancaman lebih banyak lagi korban juga masih menghantui. Penduduk sipil syria masih tersisa jauh lebih banyak di Syria. Populasi Syria kurang lebih 18 juta jiwa. Tersebar di banyak wilayah dan kota. Dari kota-kota dan wilayah yang dikuasai ISIS di Utara seperti Kobane, Rakkah, Deir Al-Zour hingga battle ground antara milisia dengan tentara pemerintah yang terdapat di Allepo, Idlib, hingga ibu kota Damascus. Dan mereka ini dengan terpaksa tetap bertahan di wilayah konflik tersebut dengan berbagai kondisi yang jauh lebih mencekam tentunya. Empat musim dingin sudah dilalui. Korban perang masih juga terus berhitung mati, terluka atau pergi dari wilayah konflik tersebut. Dan tidak ada yang bisa memastikan keselamatan mereka yang masih tinggal di Syria, apakah mampu bertahan atau menjadi korban.
Harapan pengungsi sekarang justru bersandar pada Eropa. Bukan pada Timur tengah yang secara Entitas keagamaan dan geograpis begitu dekat dengan para pengungsi.
Walaupun besarnya problematika sosial terjadi di negara Eropa penerima pengungsi, harapan bantuan masih bisa diulurkan buat mereka. Tentu saja skema bantuan yang diberikan mencakup kebutuhan dasar kemanusiaan yang terenggut dari kehidupan para pengungsi secara tiba-tiba seiring perang yang semakin berkepanjangan itu.
Untuk menangani bantuan sebesar 4 juta orang itu, diperlukan dana sementara ini sekitar $4.5 milyard dollar selama January hingga Desember 2015. Sementara yang baru terpenuhi per Agustus 2015 ini baru sekitar $1.6 Milyard Dollar atau sekitar 37%. Dari sejumlah bantuan tersebut, tentu ada skala prioritas yang saat ini ditangani UNHCR, yang berada dalam naungan program Regional Refuge and Resilience Plan (3RP). Dalam kerangka UNHCR sendiri dana yang dibutuhkan sekitar $1.35 Milyard, namun yang baru terpenuhi sekitar $550 juta. Angka ini masih jauh dari memadai.
Dana tersebut nanti akan diperlukan bagi pengadaan shelter bagi tempat tinggal pengungsi, sarana kesehatan beserta pemeriksaan dan pengobatan kesehatan, penyediaan sarana air bersih, penyediaan sarana pendidikan buat anak-anak, penyediaan barang-barang kebutuhan pokok makanan dan termasuk di dalamnya kebutuhan selama musim dingin, dan lain-lain.
Dan sekali lagi kita patut bertanya, Ada apa denganmu Arab Saudi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H