A. Firman Allah swt. dalam Surat al-Ma’idah ayat : 67
Artinya :
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia[430]. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
- Asbab An-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa para sahabat pernah meninggalkan rosululloh berhnti di dalam perjalanan, dan berteduh di bawah pohon yang besar. Ktk itu beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu. Maka datanglah seorang laki2 dan mengambil pedang rosul sambil berkata: “ siapa yang menghalangi engkau dari padaku wahai Muhammad!”. Sabda rosululloh : “ alloh yang akan melindungiku dari padamu, letakkanlah pedang itu. Ktk itu pedang diletakkannya kembali maka turunlah ayat ini (S.5:67) yang menegaskan jaminan kesalamatan jiwa rosululloh dari tangan usil manusia.[1]
- Tafsir Surat al-Ma’idah ayat : 67
Ayat 67 yang akan kita tafsirkan ini ialah menjelaskan tugas yang dipikulkan kepada Allah swt. kepada rasulnya, Nabi Muhammad saw. dan disamping diberi tugas, tuhanpun memberikan jaminanNya pula atas keselamatan diri beliau selama melakukan tugas. Sebab itu maka ayat ini dimulai dengan ucapan: “wahai rasul”. Sebagaimana kita ketahui, Allah tidak pernah memanggil Nabi dengan menyebut namanya, melainkan menyebut tugas atau jabatannya. Dan panggilan “Wahai Rasul” akan mengingatkan beliau tugas yang dipikulkan ke atas pundaknya: “sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada engkau dari tuhan engkau.” Ini adalah perintah tegas dari tuhan bahwasanya segala wahyu yang telah diturunkan Tuhan kepadanya, hendaklah beliau sampaikan langsung kepada ummat, tidak ada yang boleh disembunyikan, sebab samalah dengan tidak menyampaikan sama sekali. Sama juga dengan kita sebagai ummat Nabi Muhammad saw. kalau kita mengaku percaya kepada Allah dan Rasul, hendaklah kita percaya dalam keseluruhannya.[2]
Sejalan dengan ayat diatas Allah swt. juga berfirman tentang kewajiban tabligh bagi rosul dalam surat Nuh ayat 1:
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih",
Dan masih banyak lagi ayat lain yang secara tidak langsung memerintahkan kita untuk menyampaikan ilmu yang kita miliki.
Kalau kita lihat ayat diatas memang tidak ada kata “balligh”. Tapi dari ayat diatas terdapat kata yang artinya “Berilah kaummu perigatan”dari kata tersebut, secara tidak langsung maknanya menjadi “sampaikanlah” dan dapat kita artikan bahwa Alloh mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya untuk menyampaikan bahwa akan datang adzab dari Tuhannya.
Dari ayat-ayat diatas kita bisa tahu kalau “tabligh” itu merupakansebuah perintah, dan dalam kitab “Mabadi Awwaliyah” karangan abdul hamid hakim disitu tertulis sebuah koidah “ al-ashlu fil amri lil wujub illa ma dalla dalilu ‘ala khilafihi”yang berarti “makna asli sebuah perintah itu adalah wajib dikerjakan kecuali ada dalil yang menunjukkan atas kebalikannya”.
Abdul hakim juga menjelaskan lagi bahwasanya “al-amru bi saii nahyu ‘an diddihi” yang artinya : perintah terhadap sesuatu berartisebuah larangan untuk kebalikan sesuatu tersebut.
Cohtohnya dalam al-quran “dan berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik”.
Berarti dalam pengertian tersebut, mengajarkan (menyampaikan) ilmu pada orang lain itu merupakan kewajiban bagi ahli ilmu dan ahli ilmu itu tidak boleh (dilarang) untuk menyembunyikan ilmu jika ditanya. Tetapi tingkat ke-wajibannya tentu saja berbeda dengan “aqimu as-sholat”.
Adapun hikmah dari ditegaskannya perintah dan penegasan (tablig) bagi rosul adalah pemberitahuan untuknya, bahwa tabligh itu menjadi kewajiban yang tak bisa di tawar-tawar, dan tidak boleh menyembunyikan apa yang wajib disampaikan dan dalam keadaan apapun.[3]
Sedangkan hikmah bagi manusia yang mendengarkan tabligh, hikmahnya supaya mereka mengerti fakta ini dengan adanya nas tersebut. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk memperselisihkan fakta ini dengan pendapat atau faham yang berbeda.[4]
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah saw. pernah ditanya. “Ayat manakah yang anda rasakan paling berat ketika turun dari langit ?”
Maka sabda Rasul, “Saya berada di Mina pada hari-hari musim haji, dan berkumpul (pula) orang orang musyrik Arab bersama pemuka-pemuka masyarakat di musim haji. Maka turunlah Jibril kepadaku untuk menyampaikan surat al-Ma’idah ayat : 67 tersebut.
- Pelajaran Yang Dapat di Ambil
Dari ayat atau dalil-dalil di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa mengajarkan ‘ilmu (menyampaikan ilmu) merupakan sesuatu yang wajib dilakukan, menyampaikan ilmu bukanlah sesuatu yang mudah, karena Nabi saw. saja mengakui kalau ayat yang memerintahkan untuk menyampaikan risalah adalah ayat yang paling berat tanggung jawabnya. Tapi, meskipun sangat berat tanggung jawabnya bukan halangan bagi Nabi saw. untuk terus berdakwah.
Jadi kalau kita mengaku sebagai umat Nabi Muhammad saw. seharusnya kita mencontoh beliau dengan menyampaikan dan mengajarkan ilmu yang sudah kita miliki. Dan mengajarkan ‘ilmu kepada orang lain merupakan shodaqoh yang paling utama.
KESIMPULAN
ØDalam al-Quran Surat al Ma’idah ayat 67 menerangkan tetang kewajiban tablig kepada Nabi Muhammad saw.
ØHikmah dari ditegaskannya perintah dan penegasan (tablig) bagi rosul adalah pemberitahuan untuknya, bahwa tabligh itu menjadi kewajiban yang tak bisa di tawar-tawar, dan tidak boleh menyembunyikan apa yang wajib disampaikan dan dalam keadaan apapun.[5]
ØHikmah bagi manusia yang mendengarkan tabligh, hikmahnya supaya mereka mengerti fakta ini dengan adanya nas tersebut. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk memperselisihkan fakta ini dengan pendapat atau faham yang berbeda.[6]
ØMakna asli sebuah perintah itu adalah wajib dikerjakan kecuali ada dalil yang menunjukkan atas kebalikannya
[1] [1] K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan dkk, Asbabun nuzul (bandung: CV diponegoro, 2002) hlm. 50. “ diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam kitab ath-THabaqat, yang bersumber dari mujahid”
[2] Musthafa, Ahmad Al-maraghi, Tafsir al-Maraghi Jld 6. (semarang : CV. Toha Putra) hal. 313
[3] Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz II (Jakarta : Pustaka panjimas, 1983)hlm. 291
[4] Ibid.
[5] Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz II (Jakarta : Pustaka panjimas, 1983)hlm. 291
[6] Ibid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H