Hari itu adalah hari pertama saya di kota tersebut. saya menuju ke satu SMA Negeri yang konon kabarnya adalah sekolah bertaraf Internasional...Seperti biasa setelah memarkir motor, lapor satpam dan bertanya dimana letak kantor BK saya langsung bergegas menuju kantor BK. Setelah memberi salam saya bertemu dengan seorang bapak guru, beliau mempersilahkan saya masuk dan bertanya perihal keperluan saya dan saya pun menceritakannya. Setelah sejenak mendengar kemudian beliau keluar sejenak mencari koordinatornya yang pada saat itu sedang bercokol di ruang guru. Tak lama kemudian mereka berdua datang. Kali ini saya bercerita tentang keperluan saya kepada bu guru yang rada nyentrik ini (rambut dicat pirang agak merah) sambil membuka surat dan proposal beserta berkas-berkas lainnya untuk disajikan....
Selesai saya bercerita ibu guru tersebut setengah melempar proposal yang saya bawa ke hadapan saya sambil berkata,"Kita ga butuh ini mas. Sudah berkali-kali kita coba lembaga yang berbeda tapi sama saja. Bahkan tahun lalu hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, ga valid. Bawa saja proposal anda dan tidak perlu kesini lagi." lalu ibu itu meninggalkan saya keluar ruangan sedangkan saya masih bengong sambil garuk-garuk kepala. Sejurus kemudian saya rapikan kembali berkas-berkas itu lalu segera pergi. Hari itu saya mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan. Hari itu juga saya putuskan untuk pergi menengok bibi saya yang sedang sakit dan tidak meneruskan ke sekolah lain. Saya ingin introspeksi diri sebelum kembali bertempur....
Selama dalam perjalanan menuju rumah bibi yang berjarak 15 km dari sekolah saya berpikir dan berpikir, apa yang salah...
Saya memang sempat terkejut dengan reaksi yang saya terima di sekolah, terkesan tidak sopan sama sekali memperlakukan orang apalagi dengan orang yang baru dikenal..
Tapi saya tidak mau berlarut-larut dengan ini. Saya tidak sakit hati sekalipun agak kecewa. Saya belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi.Dalam hati dan pikiran saya merasa sangat prihatin dengan para profesional di profesi saya. Sedemikian buruknyakah mereka memberikan contoh produk dan layanan hingga sekolah menjadi sangat resisten dan traumatik sehingga bukan lagi berorientasi pada helping other people.
*Masih tetap dalam perjalanan*
Saya teringat kembali cerita seorang kawan yang pernah ia dengar dari salah satu program di RRI beberapa tahun sebelumnya...
Seorang mantan penjahat yang ingin bertobat datang kepada seorang guru kebaikan dan berharap akan belajar kebaikan untuk membayar lunas semua kisah kelamnya di masa lalu...
Ketika datang si penjahat ini berkata,"Ajarkanlah kepadaku tentang kebaikan."
Guru berkata,"Besok datanglah kemari aku akan memberikan tugas baru untukmu." kemudian si penjahat ini pergi dan keesokan harinya datang kembali.
Guru berkata," Bawalah batu ini. Pesanku, coba tanyakan kepada orang-orang di pasar. Seandainya batu ini dijual berapa harga pantas yang mereka tawarkan. Setelah kamu tahu, bawalah kembali batu itu kemari dan ceritakan apa yang kamu alami." Kemudian si penjahat ini pergi ke pasar dan mendatangi satu persatu penjual batu di pasar. Jawaban mereka beragam. Ada yang mengatakan menghargai batu itu dua keping uang perak, ada yang menghargai batu itu sekeping uang perak, ada yang tidak bersedia membeli namun bila diberikan gratis mereka masih bersedia menampungnya. Namun ada pula yang bahkan diberikan secara gratispun mereka tetap tidak bersedia menerimanya. Hal ikhwal peristiwa di pasar ini diceritakanlah kepada sang guru sesampainya di kediaman guru itu. Lalu si penjahat bertanya kepada guru ini mengapa mereka bereaksi seperti itu, sebenarnya batu apakah itu...Guru kebaikan ini tidak menjawab pertanyaan si penjahat secara langsung, namun berkata,"Besok bawalah batu ini kepada....(disebutkanlah beberapa nama). Lakukan hal yang sama, cukup bertanya namun tidak untuk menjualnya."