Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Keluarga Soemijat (9)

10 September 2019   14:16 Diperbarui: 10 September 2019   15:36 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Soemijat penasaran. Ada pengagum diam-diam yang meneror hatinya. Dia ingin membuka siapa sosok pengirimnya. Kali ini Soemijat mengubah kebiasaannya. Terungkapkah?

Mengungkap Misteri Kembang

Selesai dari kantor, Soemijat langsung pulang. Dan tidak keluar rumah lagi. Di rumah mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan. Dari pekerjaan kantor yang belum selesai,  hingga memilih  bermain dengan Citeng, anaknya. Apalagi sejak Soemijat sibuk kerja, Citeng sempat kurang perhatian.  

Tujuannya satu. Bisa menangkap basah, pengirim kembang misterius. Sebenarnya tidak tepat dikatakan menangkap basah.  Soemijat hanya ingin mengetahui. Untuk menjaga perasaan tak mungkin menangkap secara langsung. Jika tahu pengirimnya, nanti di lain waktu akan menanyakan maksudnya.

Dari ruang tengah, ada salah satu jendela yang dibuka sedikit. Sekira selebar 10 cm. Lewat celah itu Soemijat bisa melihat dengan leluasa kondisi di ruang depan. Siapapun yang lewat akan terlihat. Soemijat menduga, bunga itu diletakkan sekira menjelang maghrib. Sekitar pukul 17.00 WIB.  Supaya tidak terlalu lama menunggu, Soemijat akan mulai berjaga sekitar pukul 17.00 WIB atau kurang.

Hingga mendekati pukul lima sore, Soemijat tak melihat ada tanda-tanda akan ada yang meletakkan bunga. Tapi Soemijat tetap menunggu. Pokoknya sampai waktu azan Maghrib.  

Benar. Sekira waktu yang diprediksikan, muncul seorang laki-laki paruh baya. Yang meletakkan kembang itu. Soemijat tidak mengerti.  Dugaannya selama ini meleset. Ternyata bukan seorang wanita yang mengirimkan kembang itu. Tapi kemudian logika Soemijat kembali berjalan.

Bisa saja yang meletakkan itu laki-laki. Dan bukan tidak mungkin laki-laki itu hanya menjalankan tugas dari orang lain. Soemijat membeiarkan laki-laki itu meletakkan kembang itu. Dari balik jendela yang dibuka selebar 10 cm itu, Soemijat memperhatiakan dengan seksama sosok yang menaruh kembang misteri itu.   Soemijat sengaja tak mau menangkap basah. Akan lebih baik kalau nanti ditemui baik-baik dan menanyakan apa maksudnya.

Soemijat merasa lega. Satu teka-teki telah terjawab. Dia lalu pergi ke musala untuk melaksanakan salat maghrib. Dalam doanya semoga dilindungi dari segala fitnah. Diberi panjang umur dan kesehatan.

Soemijat rupanya bukan tipe lelaki yang suka menunda-nuda pekerjaan. Kalau sekiranya bisa selesai hari itu, kenapa menunggu besok. Menunda pekerjaan sama saja membiarkan beban di pundaknya. Selama belum diselesaikan beban itu terus bertengger di pundaknya. Toh solusinya  gampang. Temui orangnya, tanyakan maksudnya. Selesai.

Pulang dari musala, Soemijat melepas sarung dan menggantinya dengan celana panjang. Mencari lelaki yang meletakkan kembang tak sulit. Banyuputih di tahun itu masih sepi. Soemijat langsung mendatangi rumah lelaki itu.

Begitu mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, Soemijat melihat ada ekspresi kaget di wajah peletak kembang itu. Soal diplomasi, Soemijat paling jago. Yang dipikirkan bagaimana mengetahui maksud lelaki itu, tanpa lelaki itu kehilangan muka di depan Soemijat.

Ringkas cerita, Soemijat sudah berbicara dengan lelaki itu. Rupanya lelaki itu masih keluarga dekat Wiyuripah.  Wiyuripah bisa dibilang masih tergolong darah biru. Leluhurnya jika ditelusuri ke atas masih keturunan Bahurekso, Bupati Batang yang pertama.    

 Dari penuturan, lelaki itu, Wiyuripah menaruh simpatik kepada Soemijat. Wiyuripah merasa terharu dan iba melihat Soemijat yang harus repot mengurus anak yang masih kecil. Sementara anak seumur itu butuh perhatian ibu. Harus ada yang mengajari tata krama, unggah-ungguh dan bicara yang baik. Kalau mengandalkan ayah, tentu waktunya terbatas.

Soemijat terkejut. Seperti ada yang menyadarkan. Kesedihan harus dihentikan. Saatnya melangkah lagi. Harus memikirkan Citeng anaknya agar mendapat perhatian dari ibu. 

 Sesungguhnya tidak serta merta seperti itu. Ada pertimbangan lain. Bukan semata-mata pertimbangan anaknya yang masih kecil, bukan pula pertimbangan harus berumah tangga lagi. Tapi harmoni. Niat baik harus dibalas dengan tindakan yang juga baik. 

 Wiyuripah telah berani melangkah jauh. Mengambil tindakan yang kurang populer pada saat itu. Sebagai lelaki yang sangat menghormati harkat wanita,  tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Tanpa harus berpikir lama-lama, di rumah lelaki itu juga, Soemijat mengatakan bahwa dirinya siap mempersunting Wiyuripah.  Soal teknis pelaksananaan dan lain -- lain bisa dibicarakan kemudian. Yang penting secara prinsip, Soemijat mengaku terima kasih telah diperhatikan. Dan siap membangun kehidupan baru bersama Wiyuripah.

Sekitar bulan Juni tahun 1941, pernikahan Soemijat Siswoharsono dengan Wiyuripah gadis yang masih berusia belasan tahun digelar. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Padahal situasi negara pada saat itu tidak jelas. Belanda sudah tidak terlalu bertaring. Sementara kekuatan Jepang makin merajalela. Siap masuk ke Indonesia.  Kekuatan raja-raja lokal makin menggila.  

Bagi Soemijat yang bisa dibilang telah menghabiskan sebagian usianya  dalam situasi yang serba tak ideal,  telah teruji untuk melewati situasi -- situasi sulit. Soemijat percaya, segala sesuatu bisa  dilewati dengan mudah kalau memiliki kerendahan hati.

Mau mengalah, walau sesungguhnya itu berat.  Soemijat mempunyai prinsip yang terkadang berbeda dengan kebanyakan orang. Sebagai contoh kasus, jika ada orang yang memukul dirinya, dia tidak akan membalas.  Sebab kalau membalas akan makin banyak yang dilukai. Jika membalas tentu menjadi dua orang yang sakit. Tapi yang penting persoalan selesai. Kekerasan tidak harus dibalas dengan kekerasan. Kekerasan bisa muncul karena tidak sabar untuk mengikuti proses dialog. Tabayun. Membahas duduk persoalan dengan tenang. Paling sulit menahan amarah.

 Itu sebabnya sabar menurut keyakinan Soemijat itu memiliki tingkatan. Sabar sareh, sabar darono dan sabar tawakal. Setiap peristiwa memerlukan investasi sabar yang berbeda-beda. Makin berat persoalan maka makin   butuh kesabaran yang tinggi.

Sabar bukan terhadap segala sesuatu yang tidak enak saja. Menghadapi kenikmatan juga butuh kesabaran. Sabar dalam kenikmatan. Perlunya agar tidak lupa daratan. Jika direnungkan maka akan sampai pada ketauhidan. Segala sesuatu ada yang menggerakkan. Kelak ada pertanggungjawabannya.

Soemijat juga percaya. Setiap manusia yang bertindak  pasti mempunyai alasan. Baik alasan  ekonomi maupun sosial. Bisa saja  dua orang melakukan tindakan yang sama tapi   dengan alasan untuk melakukan tindakan itu berbeda. Triger untuk melakukan itu bisa bermacam-macam. Karena takut, gembira, tertekan, cinta, serakah dan lain-lain.

Malam Pertama

Malam pertama dilewati dengan suka cita. Wiyuripah yang memang sejak awal mempunyai kepedulian dan ketertarikan terhadap anak kecil, bisa langsung  nge-blend. Soemijat memang seorang seniman. Tapi dalam keseharian sangat logis dan berpikir praktis.  Keputusan-keputusan hidup lahir bukan karena perasaan. Tapi logika. 

Begitu akad dilakukan, berarti mulai saat itu juga,  Wiyuripah bertanggung jawab terhadap pendidikan Citeng. Wiyuripah seorang yang lembut dan berani. Berani berkata benar.

Berani menyuarakan ketidakadilan. Karakter itu kelak diwariskan kepada Citeng. Memang tidak melalui jalur DNA. Tapi melalui perilaku dan tutur kata.   Itu sebabnya, Citeng tumbuh menjadi anak yang berani dan cerdik. Bukan hanya itu, Citeng juga tak mau ada orang yang lebih pintar dan lebih cerdik dari dirinya. Jiwa kepemimpinannya tinggi. Citeng juga yang kelak mewarisi keberanian Soemijat. Selalu berpikir positif. Kata orang,  anak, itu sebagai perekat  hubungan cinta. Dalam sebuah rumahtangga, kehadiran anak makin menguatkan hubungan. Dan kebahagiaan pun tiba pada 18 Juni 1942. Pada tanggal itu, seorang bayi laki-laki buah cinta antara Soemijat dan Wiyuripah lahir. Bayi berkulit putih bermata sedikit sipit itu diberi nama Sumiyatno Ibnu Radyo.

Soemijat bahagia. Tapi Soemijat tak mau melampiaskan kebahagiaan itu secara berlebihan. Soemijat bahagia tapi dengan cara wajar. Soemijat selalu ingat pesan tokoh ponakawan Semar. Semar jika melewati jalan menanjak, dia kan tertawa. Sebab setelah jalan menanjak akan ada jalan datar atau menurun. Sebaliknya jika melewati jalan menurun akan  terdiam. Tidak mau bahagia. Sebab setelah itu akan ada jalan menanjak.    

 Prinsipnya segala sesuatu ada akhirnya. Segala sesuatu ada batasnya. Yang istimewa dari anak Wiyuripah adalah, dia menggunakan nama seperti nama ayahnya. Sumiyatno, diambil dari nama 'Soemijat' ditambah 'no'. Citeng juga menyambut gembira. Dia tidak sendiri lagi. Tapi sudah punya teman. Wiyuripah mengenalkan pada Citeng, bahwa Debleng, panggilan Sumiyatno Ibnu Radyo setelah tumbuh anak-anak, adalah adik yang harus dijaga. Nanti kelak setelah besar Debleng yang akan menjaga Citeng.

Suasana bahagia pengantin baru Soemijat -- Wiyuripah sedikit terganggu karena masuknya penjajah Jepang. Tentu bukan hanya pengantin baru Soemijat -- Wiyuripah. Semua masyarakat Indonesia terutama yang di Jawa merasa terusik.

Masuknya Jepang artinya, pindahnya pemerintahan dari Belanda ke Jepang. Bagi pegawai negeri seperti Soemijat, harus menyesuaikan lagi bahasa Jepang. Harus mengerti bahasa Jepang dan harus paham huruf Kanji.  Soemijat yang biasa hidup dengan standar dan gaya Eropa harus berganti menjadi gaya hidup Jepang. Pagi-pagi sebelum masuk ke ruang kelas untuk mengajar, seluruh guru dan murid harus melakukan senam pagi.  

Awalnya berat. Tapi lama-lama karena dijalani setiap hari menjadi ringan. Tepatnya menjadi terbiasa. Tapi yang pasti Soemijat sudah mempunyai istri. Untuk urusan rumah tangga sudah ada yang bertanggung jawab.

Di antara bayang-bayang kewaspadaan, karena di bawah pemerintahan Jepang, Soemijat diberi kabar gembira. Wiyuripah hamil lagi. Walau belum terlalu modern dalam dunia kedokteran, Soemijat tetap tenang. Dan bayi yang dikandung Wiyuripah pun lahir.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun