"Ya tinggikan ada hitungannya berapa. Kalau masih ada hitungannya berarti masih bisa diperjuangkan," papar janda pensiunan Kepala Sekolah itu, yang biasa dipanggil 'Ma', oleh Rini anak satu-satunya.
Rini memeluk ibunya. Dalam hati ia berjanji akan memenuhi apa yang menjadi impian ibunya. Â " Kita memang miskin tapi nggak boleh miskin usaha dan doa," nasihat ibu Rini lagi. Rini makin mengeratkan pelukannya.
Siang itu stasiun kereta api Prupuk, banyak dijejali calon penumpang. Mereka rata-rata hendak menuju Yogykarta. Termasuk Rini. Rini hanya diantar ibunya. Duduk di peron menunggu kereta Solo Balapan yang datang dari Jakarta.
Terdengar suara dari corong pengeras suara. "Kereta api Solo Balapan dari Jakarta dengan tujuan Yogyakarta segera masuk di jalur tiga. Para penumpang dimohon mempersiapkan diri." Â Bergegas Rini mengemasi tas dan buku-buku yang dipak dengan kardus. Ibunya membantu menjinjing tas kecil yang berisi makanan dan lauk -- pauk untuk persiapan bulan pertama di Yogyakarta.
Untungnya, di Yogayakarta sudah banyak temannya yang se-SMA yang memilih kuliah di sana. Jadi Rini tak begitu kesulitan mencari tempat indekos atau kontrakan.
Tahun pertama mengikuti kuliah, Rini tak mendapatkan kesulitan sama sekali. Semua pelajaran dan tugas dari fakultas dapat diselesaiakan  denagn baik. Ibunya sesekali menyurati, menanyakan tentang kiriman sambel goreng Bali-nya yang dikirimkan ibunya lewat tetangganya.
Kalau sudah begitu, Rini tak pernah menunda. Ia langsung menulis surat dan memasukannya ke dalam amplop yang sudah beralamat dan berprangko, yang memang sudah disiapkan oleh Rini untuk membalas surat dari Ibunya.
Rini belum tahu bahwa masalah kuliah tidak hanya menyangkut biaya dan kemampuan tapi juga 'cinta' sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dalam menuntut ilmu. Â Cinta di sini bukan perasaan cinta Rini terhadap pemuda yang menjadi idolanya. Tapi perhatian teman atau dosennya kadang cukup mengganggu. Â Mungkin kalau mahasiswa saja bisa diatasi. Tapi kalau sudah yang namanya dosen , kan semuanya serba ewuh pakewuh.
Rini memang tidak akan berpacaran dulu sebelum sukses meraih gelar sarjana hukum. Berbagai upaya dilakukan untuk menghindar dari perhatian sang dosen, seperti ketika Pak Mansyur menawarkan buku-buku yang berkaitan dengan ilmu hukum. Rini mengelak dengan berbagai dalih  seperti yang ia ceritakan kepada teman sekontrakannya, "Dik Rini, ini buku-buku penting lho, suatu saat pasti Dik Rini memerlukannya," celoteh Rini menirukan omongan Pak Mansyur yang dikenal mata keranjang di mata mahasiswa.
"Terus kamu bilang apa Rin," tanya Susi teman serumahnya.
"Aku? Aku bilang, terima kasih Pak kebetulan teman saya sudah meminjami buku yang persis seperti yang Bapak tawarkan itu," ujar Rini lagi, lalu mereka tertawa bersama.