Mohon tunggu...
Teguh Gw
Teguh Gw Mohon Tunggu... Guru - Pernah menjadi guru

Pemerhati pendidikan, tinggal di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengemudi Taksol

22 Februari 2024   15:08 Diperbarui: 22 Februari 2024   15:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata ojol---singkatan dari ojek online---sudah terdaftar sebagai lema di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Untuk taksi daring, saya usulkan---setidaknya dalam tulisan ini---sebutan serupa: taksol (taksi online).

Senin (19/02/2024) malam keluarga kami membutuhkan alat transportasi yang cepat dan tepat. Cepat, artinya mudah didapat dan cepat sampai tujuan. Tepat, bisa menjemput dan mengantar door to door.

Kami harus berangkat ke Klaten malam itu juga. Menjelang pukul 10 malam, istri saya menerima kabar per telepon dari keponakannya: ibunya (kakak istri saya) dipanggil Sang Khalik. Pagi, hari yang sama, dia dilarikan ke rumah sakit. Kesehatannya drop. 

Mestinya Mbakyu dirawat di ruang perawatan intensif, tetapi seluruh bed di ruang ICU sudah terisi pasien. Dia sementara hanya bisa dirawat di IGD, dengan instalasi peralatan medis ala ICU. Rupanya ruang perawatan gawat darurat itu menjadi tempat "kencan" Mbakyu dengan Izrail.

Kami sempat syok. Sejenak kemudian, kami bergegas menata pikiran. Semua mengambil beberapa potong pakaian. Ada yang disiapkan untuk kami kenakan dalam perjalanan, masing-masing satu setel. Yang lain kami kemas di dalam tas, untuk persiapan ganti selama di Klaten.

Setelah persiapan tuntas, kami memperhitungkan kebutuhan moda transportasi. Saya sendiri mengajukan izin tidak masuk kerja hanya untuk satu hari. Istri si sulung juga mendapat izin membolos hanya satu hari. Berarti, kami---saya dan anak sulung kami---perlu kendaraan yang fleksibel dan ekonomis. Kami putuskan naik sepeda motor, dua orang dua motor.

Masih tersisa empat orang. Sepeda motor yang tersedia cukup untuk mengangkut seluruh anggota keluarga, enam orang. Namun, kami akan menempuh perjalanan yang lumayan jauh: 100 km lebih. Tengah malam. Empat dari kami perempuan. Salah satunya lansia. Tidak sepatutnya mereka bersepeda motor.

Harus ada alat transportasi yang lebih nyaman untuk keempat perempuan calon penumpang itu. Opsi pertama, taksol. Meski sempat ragu, akhirnya saya isi juga aplikasi pemesanan taksol. Keraguan saya terbukti. Lewat beberapa menit, tidak ada pengemudi yang merespons.

Istri saya mengusulkan alternatif lain. Saya belum berminat untuk mengiakan. Saya coba memperbarui pesanan. Alhamdulillah, ada respons. Aplikasi menampilkan nama pengemudinya: Dafi Prismawan. Merek mobilnya disebut. Warnanya merah. Pelat nomornya K.

Mas Dafi menelepon, menanyakan jumlah dan jenis kelamin calon penumpang. Ia juga memastikan apakah betul tujuannya Klaten.

"Takutnya, pesanan fiktif, Pak," terangnya.

Saya memaklumi keraguannya. Menurut catatan waktu di aplikasi, pesanan saya tersambung ke Mas Dafi pukul 22.57. Saya jelaskan mengapa kami harus pergi malam-malam.

Setelah kami tunggu sekitar setengah jam, mobil merah berpelat K tiba. Pengemudinya turun.

"Ada barang bawaan, Pak," tanyanya.

"Hanya tas pakaian ganti, Mas," jawab saya.

Ia membuka pintu bagasi. Sebuah tas cangklong yang dibawa istri saya diminta, lalu dimasukkan ke bagasi. Menantu kami memasukkan tas punggung dan helm ke bagasi. Mas Dafi memindahkan helm itu ke jok paling belakang. Mungkin ruang bagasi dipandang kurang leluasa untuk menyimpan helm. Toh, jok depan dan tengah cukup untuk menampung empat orang penumpang. Jadi, jok belakang tidak terisi penumpang.

Semua penumpang dan barang sudah masuk mobil. Mas Dafi menghampiri saya. Tangan kanannya diulurkan. "Astagfirullah ...," batin saya, terperangah. Pemuda berpenampilan bersih dan rapi itu berpamitan dengan menjabat dan mencium tangan saya.

"Titip keluarga saya, ya, Mas. Nggak usah buru-buru," pesan saya.

Mobil merah perlahan meninggalkan rumah kami. Saya dan si sulung mengeluarkan motor dari teras. Setelah memarkir motor di depan rumah, saya menggembok pintu pagar. Kami menstarter motor masing-masing, lalu menyusul mobil yang membawa empat anggota keluarga kami.

Di pertigaan Sigar Bencah mobil sudah terkejar. Anak saya menyalip mobil karena hendak ngejogi bensin. Seratusan meter kemudian anak saya berbelok masuk ke SPBU, di kanan jalan. Saya menunggu di kiri jalan. Ternyata mobil merah itu juga masuk ke SPBU. Anak saya keluar lebih dulu. Kami berdua langsung berjalan, tanpa menunggu mobil.

Lalu lintas cukup lengang. Hanya di beberapa ruas kami harus berbagi jalan dengan truk-truk besar dan sarat muatan. Selebihnya, kami leluasa memacu si kuda besi.

Sekitar seperempat jam menjelang pukul 2 dini hari kami sampai di rumah duka. Empat orang yang naik mobil belum tampak. Saya hubungi istri via telepon. Tidak diangkat. Namun, menantu kami sudah berkabar kepada suaminya. Rombongan bermobil sudah sampai Penggung. Tinggal butuh beberapa menit lagi untuk menyusul kami.

Benar saja. Pukul 02.07 mobil tiba. Pengemudi turun dan membukakan semua pintu, untuk penumpang dan barang. Seluruh penumpang turun. Dua tas dan satu helm dikeluarkan.

"Terima kasih, ya, Mas. Maaf, merepotkan malam-malam," kata saya.

Kali ini saya yang menjulurkan tangan. Mas Dafi menyambut jabat tangan saya. Lagi-lagi saya tidak bisa menyembunyikan rasa takjub. Pengemudi taksol itu kembali mencium tangan saya.

Mas Dafi masuk ke ruang kemudi dan menstarter mobilnya. Mobil bercat merah mengilap itu berjalan menyusuri gang sempit di penghujung malam yang sunyi. Sampai di ujung gang, mobil berbelok ke kanan, berpindah ke jalan raya menuju Semarang.

Kesantunan Mas Dafi belum mau lepas dari tatapan saya---mata kepala dan mata batin. Sepasang bibir saya masih berkomat-kamit. Untaian doa untuk Mas Dafi terus melangit.

Sambil menghibur diri seusai pemakaman jenazah almarhumah Mbakyu, saya mengorek cerita dari istri, anak bungsu, dan menantu saya.

"Bagaimana sopirnya semalam?" tanya saya.

"Ramah banget," aku istri saya.

Menantu menimpali, "Kata-katanya tertata."

Si bungsu, seperti biasanya ketika diminta bercerita, hanya klecam-klecem. Duh, jangan-jangan, diam-diam malah hatinya sudah tertambat pada kehalusan budi pengemudi itu.

Di balik bermacam kesan miring terhadap sopir, dunia masih punya Mas Dafi. Lebih dari sekadar citra terpelajar, pengemudi taksol yang satu ini---setidaknya, dalam kesaksian kami---juga terdidik.

Keesokannya lagi, setiba di Semarang, saya kembali membuka aplikasi pemesanan taksi daring. Saya lacak riwayat transaksi terakhir. Masih ada kewajiban yang belum saya tunaikan. Saya merasa layak untuk melunasinya.

Saya buka kolom penilaian. Saya pencet lima bintang. Di kolom ulasan saya tulis, "Pengemudinya ramah dan sangat santun."

Tabik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun