Benar saja. Pukul 02.07 mobil tiba. Pengemudi turun dan membukakan semua pintu, untuk penumpang dan barang. Seluruh penumpang turun. Dua tas dan satu helm dikeluarkan.
"Terima kasih, ya, Mas. Maaf, merepotkan malam-malam," kata saya.
Kali ini saya yang menjulurkan tangan. Mas Dafi menyambut jabat tangan saya. Lagi-lagi saya tidak bisa menyembunyikan rasa takjub. Pengemudi taksol itu kembali mencium tangan saya.
Mas Dafi masuk ke ruang kemudi dan menstarter mobilnya. Mobil bercat merah mengilap itu berjalan menyusuri gang sempit di penghujung malam yang sunyi. Sampai di ujung gang, mobil berbelok ke kanan, berpindah ke jalan raya menuju Semarang.
Kesantunan Mas Dafi belum mau lepas dari tatapan saya---mata kepala dan mata batin. Sepasang bibir saya masih berkomat-kamit. Untaian doa untuk Mas Dafi terus melangit.
Sambil menghibur diri seusai pemakaman jenazah almarhumah Mbakyu, saya mengorek cerita dari istri, anak bungsu, dan menantu saya.
"Bagaimana sopirnya semalam?" tanya saya.
"Ramah banget," aku istri saya.
Menantu menimpali, "Kata-katanya tertata."
Si bungsu, seperti biasanya ketika diminta bercerita, hanya klecam-klecem. Duh, jangan-jangan, diam-diam malah hatinya sudah tertambat pada kehalusan budi pengemudi itu.
Di balik bermacam kesan miring terhadap sopir, dunia masih punya Mas Dafi. Lebih dari sekadar citra terpelajar, pengemudi taksol yang satu ini---setidaknya, dalam kesaksian kami---juga terdidik.