Ketidakseriusan kurikulum keguruan di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan calon guru itulah yang saya curigai sebagai penyebab utama kekarut-marutan pembinaan profesionalisme guru di negeri kita. Dari waktu ke waktu, modusnya tidak pernah berubah: atas nama peningkatan mutu pendidikan, pembinaan profesionalisme guru selalu menjadi proyek masif. Kesan saya, seolah-olah guru-guru itu tidak pernah mengenyam pendidikan calon guru.
Dalam perbincangan Sabtu malam yang diikuti sekitar empat puluh audiens itu, Pak Surachman berteriak lantang, "Guru selalu dijadikan objek yang dimanfaatkan untuk menggelontorkan uang!" Memang demikian kesannya, dan kesan itu sulit dimungkiri. Siklusnya pun relatif ajeg: ganti menteri, evaluasi kebijakan kurikulum beserta segala implementasinya, lalu pelatihan guru. Pada aras verbal, pejabat baru selalu mengatasnamakan pembelaan terhadap guru. Namun, bila diresapi dengan nurani jernih, pernyataan mereka sebenarnya berbunyi, "Wahai, para guru, kalian gagal menjadi guru profesional!"
Kerisauan atas wajah pendidikan itu pula yang di luar ekspektasi saya menjadi topik obrolan kami bertiga 2 x 24 jam berikutnya. Bayangan saya, malam itu saya bisa nempil ilmu tulis-menulis dari kedua guru saya itu. Kerendahhatian Mas Budi Maryono barangkali yang menyetir temanya. Sebagai minoritas sekaligus tuan rumah, beliau menghormati mayoritas dan tamu. Beliau penulis tulen (walaupun tidak mau menyebut penulis sebagai profesinya) yang gemar menjadi guru menulis. Sementara, Pak Imanuel Tri Suyoto guru tulen yang gemar menulis. Sedangkan saya, hanya pernah belajar menjadi guru dan baru mulai belajar menulis.
Perbincangan sahut-menyahut mengalir alami tanpa dirigen. Akhirnya Pak Im, entah sengaja atau keceplosan, membandingkan pendidikan calon guru ala SPG dan ala perguruan tinggi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (PT LPTK). Beliau punya kapasitas yang tidak perlu diragukan untuk nyandra kedua model itu. Beliau lulusan SPG (senior saya jauh) sekaligus lulusan PT LPTK. Tidak hanya lulusan PT LPTK, beliau juga pernah disambat untuk mengajar di sebuah PT LPTK.
Mas Budi sempat berkomentar, "Kalau begitu, mengapa SPG tidak dihidupkan lagi saja?" Saya sepakat, dengan catatan: kurikulum keguruannya yang diadopsi di PT LPTK. Pak Im mengamini. Keesokannya saya menjelajah internet. Saya temukan tiga artikel yang menyuarakan kerinduan akan SPG.
Pada judul cerita ini sengaja saya tulis sEKOLAH pENDIDIKAN gURU agar tidak melahirkan singkatan SPG. Tidak harus, bahkan tidak perlu, dibuka kembali sekolah calon guru pada jenjang pendidikan menengah (dulu: SLTA). Cukuplah spirit SPG ditumbuhsuburkan di PT LPTK: serius membangun kompetensi keguruan (kepribadian, pedagogis, dan profesional) para mahasiswa calon guru.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H