Keterampilan membedah MMP itu lalu dipraktikkan dalam kegiatan belajar mengajar. Praktik mengajarnya berlangsung dalam tiga fase: micro teaching dengan teman-teman sejawat yang memerankan murid, praktik mengajar terbimbing di sekolah latihan, dan terakhir praktik mengajar mandiri di sekolah latihan.
Lambat laun saya menikmati menu belajar di "dapur penggodokan" calon guru itu. Bahkan, kian lama kian kerasan saya di sana. Entah, faktor apa yang menjadi determinan. Mungkin faktor kesiapan mental, seiring pertambahan usia. Atau, barangkali berkat kehangatan ekosistem pembelajaran yang dibangun oleh Ibu/Bapak Guru. Pun tidak mustahil lantaran kehadiran makhluk Tuhan yang sengaja diutus sebagai sumbu obor motivasi.
Kegelisahan kembali mendera begitu saya menerima tanda kelulusan. Ikatan dinas untuk lulusan SPG sudah tidak ada lagi. Bahkan santer tersiar kabar, ijazah SPG bakal tidak laku sebagai tiket untuk menjadi guru SD. Demi perbaikan kualitas, formasi guru SD akan segera diisi lulusan diploma dua (D2). Terlintas kuat keinginan saya untuk menyeberang laut. Konon Kalimantan masih membutuhkan banyak guru. Namun, tekad itu kandas oleh kuatnya gelombang kasih sayang orang tua.
Kemurahan hati Rektor dan Kakanwil itu bagai buah simalakama. Yang bebas hanya tiket masuknya. Kalau sudah masuk, tidak ada perlakuan berbeda dari mahasiswa yang lain: semua biaya mesti ditebus dengan uang. Demi mensyukuri kemudahan yang Tuhan berikan (atau, barangkali juga demi memadamkan niat saya untuk merantau ke luar pulau), keluarga, terutama Kakak kedua sebagai penyandang dana, memenuhi undangan itu. Kalau akhirnya harus kuliah juga, kenapa dulu tidak masuk SMA saja? Begitu gerutu batin saya waktu itu.
Awal-awal masa kuliah kembali diliputi stres tingkat dewa. Sudah dua tahun saya tidak pernah bersentuhan dengan ilmu yang menjadi menu pokok program studi saya. Di SPG, mata pelajaran itu hanya diberikan satu tahun di kelas I. Praktis, pengetahuan dan keterampilan saya di bidang itu hanya stara lulusan SMP plus satu tahun. Itu seandainya masih tersimpan utuh. Padahal sudah dua tahun saya tidak memakainya. Tak pelak, selama satu semester pertama saya lebih banyak bengong di kelas. Apalagi, keterampilan ber-cas cis cus beberapa teman sudah jauh meninggalkan saya.
Lagi-lagi, Tuhan menggelontorkan kasih sayang-Nya. Yudisium semester perdana mencatat nama saya sebagai satu-satunya pemilik angka tiga koma di antara nama-nama satu kelas. Kemurahan hati Ibu/Bapak Dosen itu pun tak ayal menyulut motivasi saya. Sepanjang delapan semester berturut-turut peringkat hasil yudisium saya tidak pernah bergeser meskipun angkanya pernah satu kali tidak mencapai tiga.
Ketika tinggal menyiapkan skripsi, saya mencoba melamar untuk menjadi guru dan diterima. Selain motif ekonomi, ada keinginan untuk menambah jam terbang mengajar sebelum lulus. Karena beban mengajar saya hanya sedikit, tahun berikutnya saya mengajukan lamaran lagi ke sekolah lain. Dua sekolah saya incar. Salah satu sekolah itu langsung menerima saya ketika menyerahkan surat lamaran.
Beberapa hari kemudian, kepala sekolah yang satunya datang ke markas saya. Kala itu memang saya tinggal di kantor sekretariat sebuah organisasi kemasyarakatan. Beliau bermaksud memanggil saya untuk mengajar. Sungguh tidak enak perasaan saya. Pak Kepala Sekolah, yang sudah sangat senior, bersusah payah mendatangi saya hanya untuk menerima jawaban yang tidak sesuai ekspektasi. Kentara sekali kekecewaan beliau. Tapi bagaimana lagi? Saya sudah terikat kontrak di sekolah lain (kedua sekolah itu bernaung di yayasan yang sama). Kesalahan yang baru saya sadari waktu itu: saya tidak mencabut lamaran setelah diterima di sekolah satunya.
Sambil menimba pengalaman di dua sekolah, pelan-pelan saya menyiapkan skripsi. Kian hari kian kencang berontak kesadaran saya: skripsi saya kelak tidak punya kontribusi terhadap tugas dan fungsi saya sebagai guru. Saya makin penasaran: seperti apa skripsi teman-teman saya? Tidak cukup menengok skripsi teman-teman seangkatan, saya bergerilya di "gudang" skripsi di salah satu sudut perpustakaan kampus. Saya buka skripsi-skripsi karya senior-senior saya. Nihil. Tak satu pun karya tulis ilmiah itu menawarkan resep pembelajaran.
Saya lalu ingat yudisium mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), program magang mahasiswa calon guru di sekolah. Salah seorang teman sekelas saya dinyatakan tidak lulus. Usut punya usut, ini sebabnya: dia tidak hadir pada salah satu hari dalam masa pembekalan sebelum diterjunkan ke sekolah latihan. Sementara, teman lain yang selama enam minggu menjalani PPL hanya satu kali beberapa menit masuk kelas, justru dinyatakan lulus. Belum sempat mengajar karena ketika itu ia masuk kelas sebagai peer observer, mengamati temannya yang praktik mengajar. Sebagai pengamat, dia hendak mengambil posisi di barisan siswa paling belakang. Untuk keperluan itulah, dia bermaksud meminjam kursi salah satu siswa dan meminta siswa tersebut pindah ke kursi lebih depan yang kosong. Di luar dugaan, si siswa merasa terusir dari tempat duduknya. Mengamuk!
Perundungan yang dialami ketika pertama masuk kelas itu menimbulkan trauma. Selama masa PPL, tidak pernah lagi dia masuk kelas, untuk praktik mengajar ataupun mengamati praktik pengajaran oleh teman sejawat. Ajaibnya, dia lulus PPL! Dapat ditebak, akhirnya dia juga diwisuda sebagai sarjana pendidikan, lalu diangkat menjadi guru dan diakui sebagai pendidik profesional.