Ketaksengajaan di mata manusia, sudah pasti bukan kebetulan di mata Sang Maha Perencana.
Sabtu (5/3/2022) malam saya berjumpa dengan seorang guru. Sebetulnya beliau sudah amat lama meninggalkan (tapi tidak menanggalkan, menurut hemat saya) sebutan guru. Sejak jenis sekolah tempat beliau mengajar dibubarkan pada awal 1990-an, beliau beralih tugas menjadi dosen. Namun, lagi-lagi hanya menurut saya, derajat dosen tak lebih tinggi daripada derajat guru. Buktinya, puncak karier kebanggaan dosen di negeri kita adalah guru besar.
Senin (7/3/2022) malam saya bertemu dengan dua orang guru. Yang seorang memang benar-benar guru, profesi formalnya. Seorang lainnya suka menjadi guru di kelas menulis. Kedua-duanya juga penulis. Yang satu guru tulen yang piawai, gemar, dan rajin menulis. Yang satunya lagi penulis tulen yang piawai, gemar, dan rajin mengasah keterampilan menulis para penulis pemula.
Pertemuan Sabtu malam berlangsung secara virtual melalui salah satu platform konferensi video. Adalah Pak Surachman Dimyati, Ph.D. yang mengundang saya. Beliau tinggal di Iowa, Amerika Serikat dan menjadi dosen/peneliti di almamaternya, University of Iowa. Beliau meraih Ph.D. dalam pendidikan fisika dari sana (2001) setelah sebelumnya lulus M.Ed. dalam pendidikan guru sains dari University of Houston (1988). Sebelumnya, beliau juga dosen di Universitas Terbuka (UT) selama lebih dari 24 tahun (1991-2015). Sebelumnya lagi, beliau guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bangkalan selama 16 tahun (1975-1991). Di antara masa pengabdiannya sebagai guru di SPG, beliau juga sempat merangkap mengajar di SMA Negeri 2 Bangkalan.
Latar belakang beliau sebagai guru SPG dan dosen UT itulah yang memberanikan saya mengusung tema profesionalisme guru dalam bincang-bincang malam itu. Dugaan kuat saya, beliau punya wacana komparatif antara kurikulum keguruan yang berlaku di SPG dan yang ada di perguruan tinggi penghasil guru. Dengan begitu, beliau bisa berperan sebagai pembanding opini yang saya paparkan, entah mengonfirmasi atau mengonfrontasi.
Kebetulan (sekali lagi, dalam kacamata saya sebagai makhluk) saya sempat mencicipi kurikulum keguruan di kedua jenis lembaga penyelenggara pendidikan guru itu: SPG dan IKIP. Kedua-duanya membuat saya stres di awal dan di akhir.
Perbedaan suasana psikologis yang mencolok justru terjadi pada masa melamar. Seleksi masuk SPG saya lalui secara reguler. Salah satunya, mengikuti tes wawancara. Ketika menunggu giliran wawancara itulah saya mengalami kecemasan luar biasa. Pelamar yang sedang mendapat giliran wawancara diminta berpidato. Lancar dan lantang ia berorasi di dalam ruang wawancara, yang saya tidak tahu ada berapa orang di sana. Saya pucat pasi. Kata apa yang akan keluar dari mulut saya kalau disuruh berpidato? Sama sekali saya tidak punya pengalaman berpidato.
Perasaan kontras saya alami ketika melamar untuk belajar di IKIP. Saya tidak perlu melalui rangkaian bermacam-macam seleksi. Prosesnya cukup enteng: tinggal mengisi formulir, memilih tiga program studi yang diperbolehkan (lulusan SPG punya pilihan yang amat terbatas), lalu mengirimkan formulir yang sudah diisi. Melamarnya pun dengan perasaan berbunga-bunga. Betapa tidak! Sebenarnya lebih tepat disebut dilamar, bukan melamar. Rektor bersama Kepala Kanwil Depdikbud yang mengundang saya untuk belajar di IKIP.
Begitu diterima sebagai murid SPG, stres saya tidak berkurang, justru bertambah. Stres itu berlangsung setidaknya selama satu semester pertama. Setiap hari bertemu dua makhluk asing: Psikologi dan Ilmu Pendidikan (Pedagogi). Dua mata pelajaran itu ngelmu tuwa bagi otak saya, yang baru sunat beberapa bulan sebelumnya. Rupanya Ibu/Bapak Guru melihat gelagat saya. Sebagai penghibur, kolom peringkat di rapor saya semester pertama itu diisi angka 1. Itu, saya yakin, semata-mata demi membesarkan hati dan memompa semangat saya agar betah melanjutkan belajar di sekolah berat itu.
Psikologi dan Pedagogi bertahan menjadi menu utama pada semester-semester berikutnya. Keduanya itu induk atau rumpun mata pelajaran. Masing-masing dipecah-pecah menjadi banyak submata pelajaran. Terpaksa saya kunyah semua. Enak tidak enak asal kunyah dan telan.
Menginjak kelas II (sekarang: XI) mulai ditambah menu baru: MMP (singkatan dari materi, metode, dan penilaian). Semua mata pelajaran SD ada MMP-nya, kecuali Agama dan Olahraga. Untuk calon guru kedua mata pelajaran ini ada sekolahnya tersendiri: PGA dan SGO. Setiap mata pelajaran dibedah materinya: struktur pengetahuan dianalisis dalam rangka merumuskan rangkaian tujuan instruksional yang tersusun secara hierarkis. Tiap-tiap butir tujuan instruksional dirunut alur pencapaiannya untuk mengidentifikasi metode pengajaran yang selaras. Kemudian dirancang sistem penilaiannya; teknik dan instrumennya mesti relevan dengan hasil belajar yang diamanatkan pada rumusan tujuan dan diupayakan dalam desain kegiatan.