Setelah basa-basi sejenak, Jenderal membuka "sidang resmi".Â
"Terima kasih, Ibu dan Bapak berkenan hadir sesuai jadwal. Terima kasih juga, Bapak kemarin memaklumi kegagalan Bapak untuk bertemu saya. Di balik kekecewaan Bapak, saya memetik keuntungan dari takdir itu. Saya jadi punya kesempatan untuk mengendapkan emosi, menjernihkan pikiran, dalam menanggapi masalah yang Bapak sampaikan."
"Ya, Pak, kami memaklumi kesibukan Bapak," sahut si Bapak.
"Bagi kami--terutama saya--masalah ini sangat pelik," lanjut Jenderal. "Mungkin begitu juga bagi Ibu dan Bapak. Termasuk bagi Ananda. Ini pelajaran amat berharga bagi saya. Hampir sepuluh tahun saya mengabdi di sini, mengalami masa kepemimpinan tiga jenderal pendahulu saya. Di bawah asuhan mereka, sekolah ini belum pernah menjumpai kasus seperti ini. Padahal guru-guru yang mengajar masih sama. Yang saya asuh sekarang adalah guru-guru asuhan ketiga pendahulu saya itu juga."
#Ganti paragraf, sekadar untuk menghela napas.#
"Kalau di antara guru-guru itu ada yang berbakat melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini, pasti kasus yang sama sudah pernah terjadi sebelumnya. Kalau kasus ini baru pertama muncul kali ini, berarti perilaku negatif ini bukan bersumber pada karakter si pelaku. Lalu, apa sumbernya? Dari mana tindakan naif itu berurat berakar? Setelah saya runut sepenuh kejujuran, kasus ini bersumber pada kualitas pemimpinnya. Kekhilafan prajurit itu hanya cermin untuk menampakkan keburukan budi panglimanya. Dulu-dulu tidak pernah terjadi kasus senista ini karena kami diasuh oleh para pemimpin yang berbudi luhur."Â
#Bernapas lagi.#
"Kalau baru sekarang kasus ini muncul, ya berarti saat ini mereka--guru-guru itu--sedang dipimpin oleh panglima yang akhlaknya tercela. Itu pasti. Tidak ada alasan lain, dalil maupun dalih. Maka, jika kekhilafan prajurit harus berbuah sanksi, setidaknya sanksi setara mesti diterima oleh panglimanya."
Byakkk! Dua pasang mata mendadak terbelalak! Lalu saling memandang. Dengan tatapan tajam. Tapi nanar. Disusul kemudian, dua pasang bibir beringsut-ingsut. Salah tingkah.
"Tidak, Pak. Bukan Bapak sumbernya. Sama sekali bukan. Sebelumnya, saya minta maaf. Kemarin saya kalap. Semalam kami merenung, berdua introspeksi. Akhirnya kami menyadari, kami punya andil dalam kasus ini. Andil kami besar. Mungkin malah yang terbesar di antara pihak-pihak yang terlibat," sahut si Bapak. "Kami sadar, waktu kami untuk bersama anak-anak kurang. Sangat kurang. Ibunya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat praktek (biasanya dokter memakai ejaan "praktek", bukan "praktik"). Sementara, saya sangat jarang berada di rumah. Pekerjaan saya lebih banyak di luar kota. Bahkan, sering di luar pulau. Maka, tidak mustahil jika ... bla bla bla ... bla bla bla ...."
Bla bla bla ....