Selain kolektif, tradisi merayakan Idul Adha juga dilakukan secara inklusif. Dalam artian membuka lebar-lebar individu dari lintas identitas untuk turut berkontribusi dalam kerja bersama. Sebuah citra masyarakat yang barangkali hanya mampu dilihat ketika perayaan Idul Adha.
Problematika Sosial di Sekitar Umat
Di sisi lain, kondisi sosial umat hari ini terjerat dalam problematika-problematika yang sistematis. Banyak umat masih berada di bawah garis kemiskinan. Banyak umat yang masih menggantungkan hidup dalam lingkungan yang dibawah standar kewajaran.Â
Banyak umat yang menjadi korban ketimpangan pembangunan. Banyak juga umat yang ruang hidup dan sumber penghasilannya diserobot atas nama kepentingan negara. Dari rentetan peristiwa, umat tidak mampu bangkit karena tidak mempunyai kapasitas power ataupun akses ekonomi-politik.
Keberadaan rentetan problematika tersebut menyeret umat menjadi entitas yang dimarjinalkan oleh sistem yang ada secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Imbasnya, agama dan circle jaringan umat tidak mampu menjadi power knowledge untuk bangkit keluar dari jurang problematika jika usaha melawan dilakukan hanya beberapa komunitas atau individu seperti yang selama ini dilakukan.
Eksploitasi-eksploitasi yang menghancurkan ruang hidup terus merembet hingga ke pelosok-pelosok yang dihuni masyarakat kecil dan kebetulan termasuk umat Islam yang menjadi korban. Eksploitasi terkini juga merampas ruang demokrasi dengan mengesampingkan bahkan tidak pernah mendengarkan suara-suara masyarakat atau umat yang terdampak.
Fakta-fakta yang menyertai menimbulkan paradoksikal dalam interaksi antara umat dan pengetahuan agama yang kebanyakan diajarkan. Agama yang seharusnya menjadi jalan pedoman yang tidak bisa lepas dari aspek sosial, menjadi pedoman yang hanya bicara ritual tanpa menyentuh realita kondisi umat.Â
Kebiasaan menjauhkan peranan agama terhadap fungsi sosial menegasikan fungsi agama yang salah satunya sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya (Kahmat, 2002: 54). Sehinga peranan menjadi tidak seimbang -- produktif secara vertikal (hubungan khalik dan makhluk) namun lemah secara horizontol (hubungan makhluk dan makhluk).
Momentum untuk Merajut Perlawanan Kolektif
Kembali ke tradisi perayaan Idul Adha, gotong royong dengan solidaritas kolektif yang selama ini diterapkan menjadi secercah harapan untuk kembali mendiskusikan dan mempertimbangkan kebangkitan umat. Meleburnya kepentingan antar individu ataupun antar kelas sosial yang selama ini terkesan utopis. Tradisi Idul Adha kemarin adalah momentum untuk kembali melihat potensi yang ada dalam lingkungan umat.
Perayaan hari raya yang diselenggarakan secara kolektif setidaknya menjadi awal untuk saling berbagi kepedulian serta saling meminggirkan kepentingan individual. Idul Adha adalah momentum untuk kita kembali memikirkan kekuatan kolektif umat serta mengoptimalkan segala yang dimiliki oleh umat.
Ruang kolektif-inklusif sederhana seperti yang terlihat di kepanitiaan penyembelihan menjadi contoh dan awal untuk membuka kembali ruang yang bersifat sama dengan tujuan dan orientasi yang jauh lebih panjang dan besar. Yakni mengantarkan umat untuk bangkit melawan segala sistem ekonomi-politik yang selama ini mengekspolitasinya. Serta potensi-potensi baru yang semakin membenamkan umat dan membuka eksploitasi-ekspolitasi lebih lanjut yang merugikan -- seperti yang terdekat yakni Omnibus Law RUU Cilaka.
Jika momentum Idul Adha kemarin berhasil diterapkan oleh hampir sebagian besar lingkungan umat yang merayakan, mempertimbangkannya sebagai momentum perlawanan kolektif bukanlah mustahil untuk diterapkan.