(Soal Isu Keberagaman yang Mengudara Pasca Debat Paslon HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Pemira UIN Jakarta 2019)
Pemira UIN Jakarta yang sempat mengalami mati suri karena berbagai masalah sehingga pelaksanaannya jauh dari jadwal dan tradisi yang ada sekarang mencapai puncak persaingannya. Tawar-menawar, rayu-merayu, tebar-menebar janji yang dibungkus menarik, diolah menjadi visi misi, dipergunakan sebagai senjata para pasangan calon dalam meraup suara dan simpati mahasiswa. Tak heran, media sosial sekaliber Whatsapp dan Instagram mendadak menjelma Kuru Setra, tempat pasangan 01 dan 02 menuangkan segenap senjata dan dukungannya untuk membuktikan bahwa 'akulah' pemenangnya.
Atmosfer panasnya musim pemilu mahasiswa ini tidak hanyak dirasakan di ranah universitas secara umum. Jurusan yang menjadi gelanggang perebutan kursi pimpinan HMJ/HMPS tidak luput terseret ke arus politik yang menjatuhkan, karena idealnya 'memang' jurusan adalah ujung tombak kekuatan dalam mendompleng suara di ranah fakultas dan universitas, sehingga perebutan di ranah HMJ/HMPS sudah sepatutnya menjadi prioritas bagi mesin-mesin politik mahasiswa yang selama ini tumbuh di lingkungan UIN Jakarta.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah saksi, bagaimana pemira merupakan alasan bagi mereka yang selama ini apatis mendadak aktif, yang selama ini masa bodoh terhadap perebutan kursi pimpinan sekarang menjadi kekuatan utama dari ambisi merebut kekuasaan. Tidak tanggung-tanggung soal visi-misi atau progam yang dijual untuk suara, bahkan kebohongan juga digunakan untuk merubah prespektif mahasiswa.
Isu-isu warisan yang mengatakan HMJ 'hanya milik satu golongan' kembali diangkat dan digaungkan, meski isu tersebut seakan basi dan tak lagi sakti, nyatanya tim pemenangan pasangan calon 02 (Fikis Silmi Faiza dan Farhan) seakan tetap pada pendirian optimisnya bahwa mewarnai HMJ yang 'sudah' dari dulu berwarna adalah jalan satu-satunya. Sebuah kenaifan, mereka -- Fikis dan Farhan -- yang selama ini merasakan bagaimana keberagaman dan kebersamaan di HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang selama ini dirajut bersama termasuk mereka seakan menutup mata hanya karena sebuah ambisi untuk berkuasa. Soal mayoritas-minoritas yang masih kabur bagaimana tolak ukurnya kembali disuarakan, mencoba berlagak menjadi korban dari kekuasaan, dibalik layar merangkak meracik strategi bagaimana cara merebut pucuk kursi pimpinan.
Kembali ke persoalan 'hanya milik satu golongan' kebohongan atau kebenaran? Sebenarnya, frasa yang dikampanyekan ini merupakan sebuah sindiran yang menyudutkan kepengurusan HMJ sebelumnya, yang dianggap kekuatan bagi lawan politiknya, pasangan calon 01 (Siti Restu Rahayu dan Hisbullah Huda) yang tampil sebagai petahana dengan progam yang diusung adalah menyempurnakan progam-progam yang pernah ada di kepengurusan lama.
Isu-isu dan opini-opini mengenai keberagaman sengaja dimunculkan untuk menggoyangkan kekuatan petahana, dan merebut suara 'mereka' yang selama ini dianggap tidak berbendera yang mempunyai jumlah jauh lebih banyak dari pendukung-pendukung militan kedua pasangan calon. Namun sungguhlah kesia-siaan, mahasiswa sekarang merupakan pemilih-pemilih yang cerdas, mengutamakan objektifitas dari pada isu yang bernada subjektifitas. Saring-menyaring berita adalah bak makanan di setiap harinya, sehingga menggunakan isu yang tidak diambil berdasarkan riset dan data adalah senjata bumerang bagi tim pemenangan dan pasangan yang mengusungnya.
Bukti yang menegaskan bahwa HMJ bukanlah milik satu golongan adalah progam-progam kerja yang dibuat diperuntukkan untuk seluruh kalangan mahasiswa tanpa membedakan 'kamu apa dan kamu siapa'. Selain itu, kepengurusan juga bukanlah satu warna seperti apa yang selama ini dikampanyekan, kepengurusan HMJ sebelumnya menggunakan open recrutmen sebagai seleksi yang kompetitif dalam menentukan kepengurusannya, serta syarat yang digunakan juga hanya 'mahasiswa aktif Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia' bukan 'apa latar belakangnya'.
Bahkan tercatat pasangan calon 02 yang menggunakan isu ini untuk meraup suara justru telah ikut andil dan membuktikan bahwa HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia memanglah beragam dan merangkul semua golongan (Fikis; masuk di kepengurusan HMJ PBSI 2017, Ketua Porseni PBSI 2017, dan Wakil Ketua Pestarama 4 HMJ PBSI, serta Farhan; masuk di kepengurusan HMJ PBSI 2018, dan pernah menjadi Ketua Buka Bersama dan Santunan Anak Yatim HMJ PBSI 2018) yang memang sejatinya dan tidak bisa dipungkiri bahwa mereka -- Fikis dan Farhan -- berbeda latar belakang dari pimpinan kepengurusan. Namun, mereka tetaplah merasakan bagaimana keberagaman itu nyata karena mereka pula ikut merasakan menjadi pengurus, mendapatkan kesempatan belajar dan berproses yang sama, bahkan mempunyai kesempatan menjadi pemimpin di suatu acara di salah satu progam kerja.
HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia telah berjalan sebagaimana apa yang telah diamanatkan, menghormati perbedaan, merangkul keberagaman. Isu-isu yang selama ini dgembor-gemborkan oleh oknum 'hanya milik satu golongan' adalah sebuah kebohongan. Untuk ambisi kekuasaan. Dalam persaingan, penulis teringat sebuah adigium yang berbunyi "bersainglah dan menanglah dengan cara terhormat" karena kosonglah sebuah kebanggaan, ketika kemenangan diraih dengan menginjak-injak nilai kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H