Mohon tunggu...
Teguh Murtazam
Teguh Murtazam Mohon Tunggu... freelance -

Muslim II Acehness II Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Aceh dan AFTA 2015

18 Juni 2016   16:58 Diperbarui: 18 Juni 2016   17:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Salah satu isu yang hangat dibicarakan dikalangan ekonom dan pelaku bisnis adalah AFTA yang secara resmi akan diberlakukan 31 Desember 2015. Isu ini begitu menyedot perhatian karena sebagian kalangan baik dari professional bisnis maupun akademisi ekonomi menganggap bahwa setuju dengan keberadaan AFTA adalah tindakan bunuh diri. Hal tersebut didasari kepada amatan bahwa kondisi real ekonomi Indonesia dan Aceh secara khusus masih belum mampu untuk bersaing tanpa adanya proteksi dari pemerintah.

AFTA atau Asean Free Trade Area adalah sebuah kesepakatan yang dijalin antara negara-negara yang berada dalam wilayah ASEAN yang ditanda tangani tangal 28 Januari 1992 di Singapura, dalam bidang produksi lokal diseluruh negara-negara ASEAN. Ketika pertama kali ditanda tangani, hanya ada 6 negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut yaitu yaitu Brunai Darussalam, Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina. Adapun Vietnam, laos, Myanmar, dan Kamboja baru ikut bergabung dalam jangka waktu 1995 sampai 1999. Baru kemudian setelah itu beberapa negara di luar kawasan ikut bergabung seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru.

AFTA agreement disepakati dengan tujuan untuk memperkuat daya saing negara-negara di kawasan ASEAN dengan berusaha menjadikan ASEAN sebagai basis produksi bagi pasar dunia dengan cara penghapusan bea (quantitative restrictions0-5 %) dan halangan non bea (non tariff barriers)di negara ASEAN dengan pola yang dikenal dengan sebutan Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA), selain itu AFTA juga bertujuan untuk menarik investor asing langsung (Foreign Direct Investment,) serta memperkuat hubungan perdagangan negara-negara di ASEAN (Intra-ASEAN Trade). Sehingga ketika AFTA benar-benar diberlakukan maka maka di ASEAN hanya akan ada satu pasar dan basis produksi dalam 5 hal utama yaitu aliran bebas barang, aliran bebas jasa, aliran bebas investasi, aliran bebas modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil.

Sebagai implikasi dari keikutsertaan Indonesia dalam AFTA. Maka Aceh sebagai bagian dari Indonesia secara integral terpengaruh dengan kesepakatan ini. Hasilnya apapun ekses positif maupun negatif dari keberadaan AFTA juga ikut berimbas terhadap Aceh. Sehingga menarik melihat Aceh berkaitan dengan penerapan AFTA yang tinggal beberapa hari lagi.

Gambaran Ekonomi Indonesia dan Aceh

Indonesia dalam konstalasi ekonomi dunia merupakan negara konsumen, hal ini diakibatkan karna ketiadaan produk lokal yang dapat menggantikan serbuan produk-produk luar negeri. Hal utama yang menjadi penyebatnya adalah rendahnya tingkat persaingan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Global Competitive Report tahun 2014-2015 yang menempatkan Indonesia pada posisi 34, dan berada dibawah Thailand pada posisi 31, China 28, Malaysia 20, Taiwan 14, dan Singapura pada posisi kedua setelah Swizerland pada peringkat pertama. 

Data Global Competitive Report sangat rasional jika kemudian dibandingkan dengan data yang dirilis oleh United Nation for Devolepment Program (UNDP) mengenai indek SDM Indonesia atau Human Devolepment Index (HDI) yang menggolongkan Indonesia dalam katagori negara menengah (Medium Human Devolepment) yaitu pada peringkat ke-108 dunia, setingkat berada dibawah negara yang berkonflik Palestina, bahkan juga berada di bawah Maldives pada peringkat 103, Suriname peringkat 100, serta di bawah beberapa negara ASEAN lainnya. 

Hal lain yang juga menjadikan Indonesia sebagai pasar menarik bagi dunia adalah keberadaan Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat didunia, serta porsi persentase PDB Indonesia yang begitu besar di ASEAN. Membuat pasar dunia melihat Indonesia ibarat primadona area ekspansi bisnis yang menggiurkan.

Adapun Aceh pada dasarnya adalah daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga jika dikelola dengan baik hal ini dapat megenjot pertumbuhan ekonomi Aceh. Sehingga berimplikasi positif bagi kesejahteraan masyarakat. Namun pemberlakuan AFTA tanggal 31 Desember 2015, yang hanya tinggal menunggu hari. Membuat sebagia kalangan gusar mengingat indikator makro masih menunjukkan bahwa Aceh masih jauh dari siap untuk menghadapi kompetisi ekonomi ASEAN tersebut.

Data pertumbuhan ekonomi Aceh yang dirilis oleh Kementrian PPN / BAPPENAS 2014, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2006 sampai 2013, pertumbuhan ekonomi Aceh selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan mengalami pertumbuhan negatif dalam beberapa tahun belakangan. Kesenjangan ekonomi antar kabupaten-kota berdasarkan index Williamson tahun 2009-2013 dalam provinsi Aceh juga sangat mengenaskan. Bahkan lebih parah dibandingkan dengan kondisi umum nasional dengan tahun dan skala yang sama. 

Masih berdasarkan laporan BAPPENAS 2014, struktur perekonomian Aceh masih didominanasi oleh sektor pertanian, selain itu juga didukung sektor perdagangan dan jasa, serta diikuti oleh sektor pertambangan. Adapum sektor industri masih berada pada titik nadir. Sehingga produk asli Aceh tidak memiliki nilai tambah (Additional Value) sehingga dipastikan akan kalah bersaing dengan produk luar, baik dari sisi kualitas maupun harga. Jika keadaan ini dibiarkan maka dipastikan dengan diberlakukannya AFTA maka keadaan ekonomi Aceh akan semakin tertekan.

Selain itu, kesepakatan mengenai aliran bebas produk dan jasa tentu akan memaksa produsen lokal yang tidak siap dari sisi kualitas produk dan harga untuk tutup pabrik, karna konsumen akan lebih memilih produk dengan kombinasi antara harga yang murah dan kualitas produk yang baik. Serta menarik tenaga ahli lokal menuju luar negeri dikarenakan standar insentif dan penghargaan yang diberikan negara lain lebih baik dibandingkan di Indonesia khususnya Aceh. Akibatnya pasar lokal akan dipenuhi produk impor, serta pembangunan multisektor mengalami penurunan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas karena tenaga ahli sebagai penggerak dan actor akselerasi pembangunan keluar negeri.

Perlambatan pembangunan multisektor yang paling mengkhawatirkan adalah menurunnya kualitas kesehatan dan sumberdaya manusia. Awal dari semua ini adalah kemungkinan beralihnya tenaga professional terbaik bidang kesehatan keluar negeri karna alasan insentif. Begitupun dengan tenaga pendidik yang ahli. Sehingga sulit untuk mengatakan bahwa pasca AFTA pembangunan Aceh akan lebih baik.

Aspek positif AFTA bagi Aceh

Namun, walaupun demikian. Pemberlakuan AFTA telah final, dan bukan berarti hal tersebut hanya ditafsirkan kiamat ekonomi bagi Aceh, karna adanya beberapa ekses negatif yang dijelaskan diatas. namun keberadaan perjanjian tersebut juga memberikan peluang dengan adanya aspek-aspek positif dari keberadaannya yang akan menguntungkan bagi Aceh jika dikelola dengan baik. Salah satunya adalah luasnya daerah pemasaran (keseluruh wilayah ASEAN) bagi produk-produk unggulan Aceh, seperti kopi, sawit, dsb. 

Selain itu pembangunan daerah-daerah terpencil akan lebih mudah dan cepat karna akan ada perusahaan-perusahaan yang mengembangkannya. Misalnya untuk area industri pertanian atau pariwisata. Tenaga kerja akan terserap lebih banyak walupun mungkin tenaga kerja lokal yang dipakai adalah tenaga kerja dibidang pekerjaaan kasar jika pemerintah tidak mengupgret kemampuan pekerja lokal.

Beberapa Rekomendasi Bagi Pemerintah Aceh

Pemerintah sebagai pelaksana dan aktor pembangunan yang memiliki kewenangan dan otoritas yang besar di Aceh dapat melakukan beberapa cara agar implikasi negative dengan keberadaan AFTA dapat direduksi semaksimal mungkin. Dalam hal ini ada beberapa hal yang direkomendasikan untuk dilakukan pemeritah Aceh. 

Pertama menentukan produk unggulan dan terus berinovasi dalam mengembangkan serta menjaga kualitas produk tersebut, membantu mempromosikan dan menyalakan semangat nasionalisme dalam memilih produk (mengutamakan produk dalam negeri). 

Kedua, memperkuat aspek permodalan baik dengan pola bantuan terikat dalam artian bisnis yang diberikan modal harus memenuhi target tertentu dalam waktu tertentu, atau dengan memanfaatkan perusahaan perbankan daerah seperti Bank Aceh dengan terus mengawasi serta meng-upgrade kemampuan produksi perusahaan yang dimodali tersebut. 

Hal ini juga sekaligus berfungsi sebagai penguat perusahaan perbankan lokal. Ketiga, mengembangkan basis data yang lengkap mengenai peforma perekonomian dan menentukan bidang pembangunan prioritas, yang dilanjutkan dengan pemberian beasiswa bagi pemuda-pemudi terbaik daerah untuk mengembangkan pengetahuannya dibidang-bidang prioritas tersebut dengan pola kontrak pasca pendidikan untuk menjaga keberadaan tenaga ahli agar tetap berkarya dalam negeri. Dan Keempat, menyediakan insentif, fasilitas research dan pola penghargaan bagi tenaga ahli yang ada di Aceh. Sehingga dengan demikian diharapkan keberadaan AFTA nantinya dapat membawa keuntungan yang sebesar-besarnya bagi Aceh, dan Indonesia secara umum.

Teguh Murtazam

Penulis merupakan Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, UIN Ar-Raniry serta Ketua bidang bidang Research dan Pengembangan Keilmuan, 

DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh 2014-2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun