Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Realitas di Balik Pelabelan Orde-orde Penguasa di Indonesia

15 Oktober 2023   14:16 Diperbarui: 17 Oktober 2023   08:45 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi massa menduduki gedung wakil rakyat, menjadi salah satu tanda proses orde berganti. Foto: KOMPAS.com


Orde itu seperti sebuah pijakan melangkah menentukan tatanan.

Hal ini tentunya adalah pilihan bagaimana meraih segala sesuatu tentang cita-cita bernegara dan berpemerintahan.

Pelabelan orde, masih populer dalam masa-masa pergantian kekuasaan di Indonesia, terutama saat hal tersebut diinisiasi tiga nama besar pemimpin tertinggi negeri, mulai dari  Soekarno, Soeharto, dan BJ. Habibie.

Selebihnya, kepemimpinan baru yang akan menentukan orde lanjutan, namun dengan nama apa.

Mungkin saja nama baru bagi orde lanjutan berulang, tercetus apabila orde reformasi yang digagas zaman kekuasaan BJ Habibie kandas.

Peristiwa berganti label orde, kerap diwarnai peristiwa besar di dalam negeri. Pengaruh kejadian menitikbertkan terhadap berubahnya tatanan.

Pergantian orde, terkadang muncul secara tiba-tiba, takala ada beberapa pihak sudah tidak tahan dengan sikap dan tatanan lama pemegang kekuasaan.

Tidak dapat terhindarkan, kecamuk di dalam negeri mengemuka antara pihak yang tidak suka melawan penguasa.

Semula gerakan awal bersifat senyap, bergulir secara bawah tanah lalu membesar karena sekian lama berjalan dan mendapat dukungan luas.

Gerakan berubah lebih terbuka dan lebih berani menentang rezim!

Motif pergantian orde memang tidak dapat dipastikan penyebab dasarnya. Bisa karena sakit hati, sentimen kelompok atau hanya mencari sensasi semata hingga unjuk kekuatan bersama-sama pihak yang tengah berdiri di luar batas garis kekuasaan.

Lagi-lagi rakyat menjadi "tameng". Kekuatan berbenturan, rata-rata ujungnya adalah sipil melawan militer.

Militer sebagai representasi penguasa sekaligus garda terdepan menegakan kedaulatan.

Tidak bisa disebutkan- jika konflik itu terjadi-siapa pemenang dari timbulnya kekacauan itu.

Korban bergelimpangan di dua sisi pihak berseteru.

Sipil lebih getol menuntut kerugian dari adanya pertikaian karena menganggap pertarungan tidak seimbang.

Pihak yang dituntut lebih bersikap bertahan dan kembali kepada tugas pokok dan fungsi semula, mengembalikan konsentrasi kedaulatan negara.

Biasanya, tidak lama dari itu, Pemilihan Umum (Pemilu) dilakukan sebagai landasan diraihnya kembali legitimasi berkekuasaan serta penentuan tatanan baru yang dulu pudar.

Atau, pemilu pun pernah dijadikan alasan bagaimana tatanan baru sebuah orde harus diraih.

Pemilu pernah disebut jadi pemicu pergantian orde. Begitu dan begitu pergantian orde di negeri ini terjadi.

Belajar dari sagala sesuatunya, pergantian orde seolah menjadi penawar bagaimana kehidupan bangsa ini lebih baik ke depannya.

Tiga orde dalam pendewasaan Indonesia. Kita menjalaninya, menyelaminya hingga merasakan pahit ketir saat hidup pada masa-masanya.

(Bandung, 15 Oktober 2023)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun