Motif pergantian orde memang tidak dapat dipastikan penyebab dasarnya. Bisa karena sakit hati, sentimen kelompok atau hanya mencari sensasi semata hingga unjuk kekuatan bersama-sama pihak yang tengah berdiri di luar batas garis kekuasaan.
Lagi-lagi rakyat menjadi "tameng". Kekuatan berbenturan, rata-rata ujungnya adalah sipil melawan militer.
Militer sebagai representasi penguasa sekaligus garda terdepan menegakan kedaulatan.
Tidak bisa disebutkan- jika konflik itu terjadi-siapa pemenang dari timbulnya kekacauan itu.
Korban bergelimpangan di dua sisi pihak berseteru.
Sipil lebih getol menuntut kerugian dari adanya pertikaian karena menganggap pertarungan tidak seimbang.
Pihak yang dituntut lebih bersikap bertahan dan kembali kepada tugas pokok dan fungsi semula, mengembalikan konsentrasi kedaulatan negara.
Biasanya, tidak lama dari itu, Pemilihan Umum (Pemilu) dilakukan sebagai landasan diraihnya kembali legitimasi berkekuasaan serta penentuan tatanan baru yang dulu pudar.
Atau, pemilu pun pernah dijadikan alasan bagaimana tatanan baru sebuah orde harus diraih.
Pemilu pernah disebut jadi pemicu pergantian orde. Begitu dan begitu pergantian orde di negeri ini terjadi.
Belajar dari sagala sesuatunya, pergantian orde seolah menjadi penawar bagaimana kehidupan bangsa ini lebih baik ke depannya.