Meski Marhaen dapat bekerja secara mandiri, tetap saja hidupnya terus mengalami penurunan secara kualitas.
Sejumlah aset yang ia miliki, sampai pada akhirnya habis karena ditukar dengan sejumlah kebutuhan pokok yang harganya sangat tidak wajar.
Seiring waktu, harta benda dan aset usaha yang dimiliki orang-orang Indonesia pada saat itu, harus terbagi kepada anak cucu mereka yang juga menggeluti prosesi sama sebagai petani.
Marhaen dan juga kehidupan orang-orang pada umumnya, hidup dalam kesengsaraan.
Sayangnya lagi, kesengsaraan itu mereka terus wariskan kepada anak cucunya sampai beberapa keturunan.
Ironis, nasib hidup orang Indonesia berada dalam kemiskinan yang terstruktur, sementara sumber daya alam Indonesia begitu kaya, namun hanya menjadi ajang eksploitasi bangsa-bangsa asing.
Dari sini, Soekarno merenungkan, bahwa keadaan orang-orang kecil semacam Marhaen ini dinilai sebagai wujud kehidupan yang membahayakan bagi masa depan bangsa.
Bangsa Indonesia bisa menjadi lenyap lama kelamaan.
Kapitalisme telah memenjarakan kebebasan kehidupan bangsa dalam bidang ekonomi.
Tanam Paksa
Ini belum berbicara tentang penerapan sistem tanam paksa atau culture stelselnya Orang Belanda.