Seorang kenalan pengacara mendapat tugas mendampingi terdakwa tindak pidana asusila seorang pengelola pesantren di Bandung yang pernah viral beberapa waktu yang lalu.Â
Tugas yang berat mengawal terdakwa yang diancam vonis hukuman mati akibat ulah sang terdakwa kepada santri perempuannya hingga menimbulkan kerugian secara materi dan imateri yang tak terhingga bagi korban juga keluarga korban.
Kawan lain, harus mengurut dada melihat sikap dan prilaku anaknya, usia belasan tahun, yang kerap menghukumi orang tua juga anggota keluarga di rumah dengan predikat jauh dari kesempurnaan.Â
Sang anak sering kecewa dan menolak keadaan atau aktivitas keseharian anggota keluarga di tempat tinggalnya itu karena ia menilai kehidupan keluarga belum mengikuti suatu disiplin tertentu sesuai dengan pengetahuan yang ia peroleh selama menjadi santri pada sebuah pesantren.
Bingung harus berbuat apa, kawan tersebut akhirnya memutuskan mengambil alih pendampingan belajar anak dan mengeluarkannya dari pesantren karena alasan kekhawatiran juga masa depan kehidupan anaknya.
Peristiwa tragis itu kita saksikan sebagai sisi lain kehidupan pesantren yang sempat terekspose media atau beredar dikalangan orang tua santri.Â
Banyak pihak menyayangkan peristiwa itu terjadi ditengah-tengah gencarnya usaha pemerintah menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan unggulan berbasis agama.
Keputusan menitipkan anak di pesantren itu keputusan mulia. Anak dan masa depannya diharapkan menjadi lebih terjamin dan baik dengan bekal pengetahuan dasar yang bakal dimilikinya yaitu berbasis tuntunan agama.Â
Ini cita-cita mendasar orang tua sebelum memutuskan anaknya "ngobong". Ngobong, istilah Sunda, populer dikalangan pesantren mengenai proses-proses berlangsungnya pendidikan di pesantren.
Predikat santri pun kerap menjadi kebanggaan tersendiri bagi para orang tua dan keluarga. Alasan utama karena santri dipandang akan mampu menjadi sosok harapan penerus cita-cita kehidupan beragama suatu masyarakat tertentu.