Citra yang ditanamkan dalam makanan selalu memiliki tujuan tersendiri dari si pembuatnya. Apalagi dalam era keterbukaan, saat makanan tidak saja hadir sebagai pemenuhan kebutuhan tubuh, ada juga misi khusus dan bahaya yang disisipkan sehingga akan mampu merubah tatanan kehidupan bahkan kebudayaan suatu bangsa.
Sumber makanan atau pangan, secara citra akan menjadi nilai bergaining terhadap posisi tawar dan kekuasaan. Menjadi suatu kewajaran apabila pola imperalisme baru akan berkembang bersumber dari perebutan sumber pangan.
Begitu luas pengaruh metafora dan citra itu. Pilihan kata dalam mengapresiasi dan penerapannya harus selalu mendapatkan perhatian ekstra.
Romantisme usang singkong dan keju harus segera dihindari. Pembangunan citra pada makanan seyogiannya dihidupkan dengan berpijak kepada relasi keluhuran nilai budaya dan penguasaan literasi yang memadai.
Memaknai hadirnya makanan secara komprehensif dan berkolaburasi antar ahli atau pemerhati lintas disiplin, semata-mata agar kita terhindar dari bahaya dan agenda penguasaan pihak-pihak lain yang tidak diinginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H