Dunia literasi semakin berkembang. Sumber-sumber pengetahuan baru terus bermunculan bersama dengan melejitnya pamor teknologi informasi mutakhir.
Ruang-ruang baca warga pun semakin semarak. Tidak saja menunjuk perpustakaan sebagai satu-satunya ruang pustaka. Berbagai inovasi merujuk kepada istilah penamaan tempat ruang kelola referensi ilmu itu bermunculan menguatkan wacana literasi diberbagai bidang.
Sebagaian warga saat ini semakin terbiasa mendengar atau menyebut nama taman bacaan masyarakat (TBM), pojok baca, sudut literasi warga, literasi corner (sempat dipopulerkan oleh Bank Indonesia dengan sebutan BI Corner), lapak baca, rumah baca, reading club, dan banyak sebutan lain diluar nama-nama perpustakaan itu sendiri.
Menyederhanakan maraknya istilah-istilah bagi ruang baca warga diatas tersebut, selanjutnya akan disebut perpustakaan saja.
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan  Pasal 16 mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat menyelenggarakan perpustakaan diantaranya adalah, a. perpustakaan pemerintah; b. perpustakaan provinsi;c. perpustakaan kabupaten/kota;d. perpustakaan kecamatan;e. perpustakaan desa;f. perpustakaan masyarakat;g. perpustakaan keluarga; danh. perpustakaan pribadi.
Aturan tersebut menguatkan lahirnya inisiatif berbagai elemen guna mewujudkan optimalisasi layanan perpustakaan kepada pemustaka dan masyarakat.
Perlu disampaikan disini, mengenai istilah pemustaka memiliki arti, pengguna perpustakaan, yaitu
perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau
lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan
perpustakaan (Pasal 1 UU 43 Tahun 2007).
Kemunculan nama perpustakaan yang bermacam-macam itu, melahirkan ragam gaya pengelolaannya. Berbagai aktivis atau pegiat TBM, misalnya, Â menyebutkan bahwa TBM sebagai sebuah gerakan, lebih banyak melakukan inisiatif jemput bola pemustaka.
Layanan perpustakaan yang mereka lakukan dapat berupa gelar lapak-lapak baca di jalanan atau suatu tempat keramaian terrentu.