Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ragam Gaya Kelola Ruang Baca Warga

23 September 2022   10:55 Diperbarui: 23 September 2022   11:49 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjangkau pedalaman Siak Provinsi Riau, layanan literasi Komunitas Lampaui Batas. Photo: Juhari (Instagram @lampauib)

Dunia literasi semakin berkembang. Sumber-sumber pengetahuan baru terus bermunculan bersama dengan melejitnya pamor teknologi informasi mutakhir.

Ruang-ruang baca warga pun semakin semarak. Tidak saja menunjuk perpustakaan sebagai satu-satunya ruang pustaka. Berbagai inovasi merujuk kepada istilah penamaan tempat ruang kelola referensi ilmu itu bermunculan menguatkan wacana literasi diberbagai bidang.

Sebagaian warga saat ini semakin terbiasa mendengar atau menyebut nama taman bacaan masyarakat (TBM), pojok baca, sudut literasi warga, literasi corner (sempat dipopulerkan oleh Bank Indonesia dengan sebutan BI Corner), lapak baca, rumah baca, reading club, dan banyak sebutan lain diluar nama-nama perpustakaan itu sendiri.

Menyederhanakan maraknya istilah-istilah bagi ruang baca warga diatas tersebut, selanjutnya akan disebut perpustakaan saja.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan  Pasal 16 mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat menyelenggarakan perpustakaan diantaranya adalah, a. perpustakaan pemerintah; b. perpustakaan provinsi;c. perpustakaan kabupaten/kota;d. perpustakaan kecamatan;e. perpustakaan desa;f. perpustakaan masyarakat;g. perpustakaan keluarga; danh. perpustakaan pribadi.

Aturan tersebut menguatkan lahirnya inisiatif berbagai elemen guna mewujudkan optimalisasi layanan perpustakaan kepada pemustaka dan masyarakat.

Perlu disampaikan disini, mengenai istilah pemustaka memiliki arti, pengguna perpustakaan, yaitu
perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau
lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan
perpustakaan (Pasal 1 UU 43 Tahun 2007).

Kemunculan nama perpustakaan yang bermacam-macam itu, melahirkan ragam gaya pengelolaannya. Berbagai aktivis atau pegiat TBM, misalnya,  menyebutkan bahwa TBM sebagai sebuah gerakan, lebih banyak melakukan inisiatif jemput bola pemustaka.

Layanan perpustakaan yang mereka lakukan dapat berupa gelar lapak-lapak baca di jalanan atau suatu tempat keramaian terrentu.

Diskusi model layanan TBM, Forum TBM Kota Bandung bersama Mahasiswa S2 Pendidikan Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesia. Photo: Nicky Puspita
Diskusi model layanan TBM, Forum TBM Kota Bandung bersama Mahasiswa S2 Pendidikan Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesia. Photo: Nicky Puspita

Banyak pula diantara mereka menjemput pembacanya di perkampungan atau lokasi yang jauh dari layanan perpustakaan umum. Pergerakannya sangat memacu andrenalin. Bagaimana tidak, dengan berkendara sepeda motor atau mobil baca keliling, tidak jarang jalur yang dilalui untuk sampai kepada lokasi harus mengarungi jalur terjal dan jarak yang jauh.


Para pegiat menghabiskan banyak waktu setiap kali mereka berkegiatan. Istilahnya, pergi pagi pulang petang merupakan hal biasa yang mereka lakukan.

Di audut-sudut perkotaan, mall atau tempat perbelanjaan umum tidak luput dari sasaran menebar bahan bacaan itu. Membuat event atau sekedar mempertontonkan deretan buku dalam rak sederhana dengan tujuan agar mata warga selalu terpaut dengan sumber literasi tersebut.

Ada pula yang mengonsentrasikan kegiatan di tempat buka layanan. Sejumlah cara digagas dan dikemas agar warga tertarik untuk bersama-sama berkreasi dan menambah wawasan.

Dorongan sejumlah pegiat perpustakaan membuka layanan kepada pemustaka dan masyarakat, dilatarbelakangi oleh adanya kondisi sosial masyarakat yang belum kondusif terutama di tempat tinggal mereka sehari-hari. Persoalan-persoalan tersebut seperti masalah penyalahgunaan narkoba, kenakalan remaja, kekerasan lingkungan dan rumah tangga, prilaku seks warga yang menyimpang, dampak  buruk indrustrialisasi, maraknya peredaran minuman keras termasuk soal keterbelakangan layanan pendidikan serta banyak lagi persoalan lainnya.

Para pegiat hadir dihadapan masyarakatnya masing-masing dengan pendekatan yang bermacam-macam. Hal ini menunjukan bahwa perpustakaan sekarang sudah berubah soal pola layanan. Model-model layanannya semakin inovatif. Warga semakin tertarik dan mau berlama-lama saat berada di perpustakaan.

Dari lahirnya kepiawaian pegiat perpustakaan warga diberbagai tempat, membuahkan apresiasi menggembirakan dari masyarakat luas.

Sejalan dengan tuntutan normatif seperti dalam UU tentang Perpustakaan  itu sendiri, masyarakat memiliki hak yang sama untuk memajukan perpustakaan. Besar harapan ke depan bahwa perpustakaan mampu menjadi ruang publik yang dapat menunjang proses pembelajaran sepanjang hayat.

Selebihnya, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan
rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran
membaca (UU Perpustakaan Pasal 49).

Sinergi pengelolaan, akan turut mempercepat hadirnya perpustakaan yang ideal. Jika saja hal ini terus dipacu, maka sangat terbuka kemungkinan Indonesia masuk sebagai bangsa berperadaban maju. Peradaban maju, salah satunya ditandai dengan kepemilikan perpustakaan yang layak ditengah-tengah publiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun