Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertahankan Tradisi Lisan, Perlukah?

19 September 2022   09:38 Diperbarui: 19 September 2022   10:43 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyelenggaraan lomba "Tradisi Lisan" oleh Dinas Arsip dan Kebudayaan Kota Bandung (16/09/2022), menjadi upaya menjaga eksistensi tradisi. Photo: Riyanto

Gandrung dengan orang-orang saat berpantun atau mereka yang membaca sajak serta merasa seru saat pendongeng beraksi, hal-hal tersebut diatas  kita ketahui merupakan bagian kecil dari serangkaian aktivitas tradisi lisan.

Tradisi lisan berbeda halnya dengan bahasa tutur terutama dalam hal penyampaian pesan saat berkomunikasi.

Bahasa tutur itu layaknya aktivitas berbicara seseorang kepada lawan bicaranya untuk tujuan menyampaikan pesan pikiran atau melepas perasaan dalam diri. Misalnya saja mengungkap kesedihan, berekspresi marah, tertawa gembira atau hanya sekedar bincang-bincang biasa. Sementara tradisi lisan itu memiliki pengertian tersendiri.

Dari laman Kompas mengungkap sejumlah pendapat ahli mengenai tradisi lisan.

Sebut saja misalnya Vansina, yang mengungkapkan pengertian tradisi lisan sebagai pesan verbal atau tuturan yang disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan, diucapkan, dinyanyikan, dan disampaikan dapat dengan menggunakan alat musik.

Sementara ahli lain, yaitu James Danandjaja, yang melakukan kajian tradisi lisan di Indonesia pada 1972, mendefinisikan tradisi lisan sebagai bagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional di antara anggota masyarakat dalam versi yang berbeda.

Dari dua pendapat diatas, nampak sekali jika tradisi lisan itu memiliki cara-cara khusus dalam penyampaiannya seperti kata-kata yang bernada, syair atau terpaku dalam gaya sastra tertentu.

Ada hal lain yang lebih menguatkan hadirnya tradisi lisan sebagai bentuk komunikasi bercorak khusus yaitu diantarnya adalah terdapat pesan-pesan moral, etika, nilai, petuah-petuah bijak hingga pepatah yang menuntun kepada jalan kebaikan.

Belum lagi iringan harmoni musik yang dapat menyertainya, dilantunkan dengan pilihan nada yang sendu atau bahkan menyayat hati.

Nusantara memiliki banyak sekali tradisi lisan, tersebar di berbagai daerah dan terpelihara sejak lama.

Hal tersebut berlangsung bersama dengan perjalanan manusia Indonesia memahami keluhuran kebudayaannya.

Tidak sedikit, karya-karya tradisi lisan itu mencatat sejarah penting suatu bangsa yang sebagian diantaranya info-info sejarah tersebut mampu bertahan hingga beberapa generasi.

Tradisi lisan ini kehadirannya dipandang perlu dalam sebuah kebudayaan sehingga sebagian manusia ingin mempertahankannya dalam kehidupan bangsanya masing-masing.

Membangun kebiasaan bertradisi lisan. Photo: Rd. Nonih Suarsih, TBM Sukamukya Cerdas Sukamukya Cinambo Kota Bandung
Membangun kebiasaan bertradisi lisan. Photo: Rd. Nonih Suarsih, TBM Sukamukya Cerdas Sukamukya Cinambo Kota Bandung

Namun sayangnya, tradisi lisan yang ada dalam masyarakat tidak selalu bisa dipertahankan begitu saja dalam pendokumentasiannya terutama karena tradisi lisan sifatnya tersampaikan hanya dari mulut ke mulut.

Versi cerita dari tradisi lisan atau isi pesannya pun biasanya banyak versi  dan tidak diketahui sumber aslinya.

Proses berlangsungnya tradisi lebih sebagai pesan yang disampaikan dari generasi tua ke generasi yang lebih muda.

Pujangga

Kekayaan karya dalam tradisi lisan identik dengan adanya campur tangan pujangga.

Mereka hidup di tengah-tengah masyarakatnya serta merekam dinamika sosial kehidupan yang terjadi saat itu.

Dengan keunggulan potensi diri yang dimiliki, menempatkan pujangga dalam ruang apresiasi khusus dan didaulat sebagai simbol kebanggaan bersama.

Tangan-tangan dingin pujangga mencipta karya sastra, legenda, mythos, syair, foklor hingga pesan suatu cerita rakyat lainnya. Karya-karya disampaikan dalam bentuk dongeng, ucapan, nyanyian, atau lagu.

Kehadiran pujangga dalam tradisi lisan, sifatnya timbul tenggelam karena alasan cara penyampaian karyanya melalui proses dari mulut ke mulut itu tadi.

Bisa pula nama besar sang pujangga tersamarkan dalam perkembangan tradisi itu sendiri.

Sebuah karya tradisi lisan kadang mudah kita peroleh, tetapi tidak tahu siapa pemilik karya sesungguhnya.

Hal demikian, bisa benar adanya apabila kita mengutip kembali suatu gambaran proses berkreasi dalam tradisi lisan, seperti disampaikan oleh Husin Al Banjari dalam Desertasi "Budak Angon", saat menjalani proses memperoleh gelar Doktoralnya di Kampus Universitas Paddjajaran beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa karya besar pujangga besar Sunda lahir dan berkembang dimasyarakat dan diantaranya karya itu "ditatah dinu elak-elakan anak incu" (dipahatkan pada rongga suara anak cucu). 

Hal seperti dilakukan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran) saat membuat syair "Cing Cangkeling" pada sekitar abad XIV.

Dalam pernyataan itu, "karya yang dipahatkan" memiliki makna bahwa karya itu abadi dan akan sangat mudah dilantunkan oleh anak cucu sejak karya itu diciptakan hingga kapan pun.

Tradisi lisan karya para pujangga pun ada yang tercipta dan berkembang pada masa-masa pemberlakuan aksara-aksara kuno di Nusantara, misalnya jaman aksara Sunda Kuno maupun Jawa.

Aksara Sunda Kuno atau Jawa, saat diberlakukan antara abad XIV sampai dengan abad XVIII, merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan sabda-sabda raja atau penguasa lainnya.

Penggunaan aksara, terutama untuk dituliskan, hanya berkembang dikalangan khusus kerajaan. Raja hanya menunjuk orang-orang pilihan dalam menuliskan aksara yaitu dengan ditugasinya Manguri (pembaca/penulis aksara pada bahan lunak) dan Citraleka (pembuat prasasti atau tulisan besar dalam benda keras).

Diluar kedua petugas kerajaan itu tadi, rakyat dan seisi negeri lainnya sangat dilarang menuliskan aksara.

Pelarangan penulisan aksara kepada sembarang orang memiliki tujuan agar terjaga kemurnian pesan.

Pesan-pesan dalam sabda raja identik dengan pesan-pesan dari Sang Maha Kuasa. Raja pun sangat absolut dalam menerapkan kebijakan ini.

Dari adanya hal itu, maka tradisi lisan pun berkembang terus sampai berakhirnya masa-masa pemberlakuan aturan tentang aksara.

Tradisi yang berlangsung lama sampai dengan masa  kebebasan penggunaan aksara saat ini terutama pemberlakun aksara pegon (Arab) dan aksara Latin, tradisi lisan masih juga bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun