Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diumumkan pemerintah belum lama ini, menyisakan persoalan baru berkelanjutan dalam kehidupan rakyat.
Persoalan ini mengular, mengikuti masalah-masalah tata kelola minyak dan gas terdahulu khusus dalam hal distribusi dan pemasarannya.
Sudah lama kita tahu bahwa, soal Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia, pola distribusi dan pemasarannya sejak tahun 2001, diserahkan kepada mekanisme pasar.
Undang-undang tentang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001, mengatur model persaingan pemasaran BBM ini.
Masih dalam Undang-undang yang sama, perkara konsumen BBM sebagai bagian dari pokok distribusi dan pemasaran pun turut diatur pula. Disebutkan bahwa konsumen BBM itu terbagi dalam berbagai jenis, ada konsumen BBM subsidi dan Konsumen BBM nonsubsidi.
Selama ini, penerima manfaat atau konsumen BBM di Indonesia datanya terus tercampur sehingga memunculkan kekacauan data konsumen.
"Penyerobotan" hak (baca: hegemoni hasrat) terus terjadi, pemerintah pula dalam hal ini "abai" dengan keadaan pasar yang sedang chaos (kacau) berkelanjutan ini.
Kebijakan menaikan harga BBM kemudian diduga diambil dalam rangka me-murni-kan persaingan pasar dan prilaku konsumen, yang menggambarkan bahwa, disinyalir BBM subsidi hari ini habis oleh para pengguna atau konsumen BBM nonsubsidi.
Pemerintah itu sudah tepat mengatur jenis-jenis konsumen BBM, namun disisi lain bahwa komoditi minyak itu "milik" pasar.
Kewenangan pemerintah hanya mengawasi melalui regulasi. Artinya pemerintah itu tidak pernah ikut jualan BBM dalam fenomena pasar bebas BBM.