Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melaut (50k)

17 Januari 2011   10:01 Diperbarui: 14 Juli 2015   00:53 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melaut

Sudah hampir satu bulan Amir tak bekerja. Kebiasaan kesehariannya mengarungi laut sebagai nelayan tak bisa dilakukannya lagi untuk sementara ini terutama setelah munculnya gelombang tinggi serta angin yang sangat kencang yang mengancam lautan disekitarnya. Tak mau ketinggalan pula bahwa keadaan yang Amir ketahui tentang lingkungan dimana dia tinggal sekarang kini telan dijadikan sebagai informasi resmi sebuah dinas pemerintah terkait dengan hal itu. "Pihak Dinas Keluatan dan Perikanan Jabar juga sudah memberikan informasi ke daerah-daerah yang menjadi sentra nelayan, agar menghindari ke laut." Begitu kira-kira sebuah harian cetak daerah itu mengabarkan.

Keahlian yang pas-pasan bagi penduduk pesisir pantai telah menjadikan laut dan profesi nelayan sebagai satu-satunya cara untuk menggantungkan harapan hidup. "Kemana, Mir?" Tanya Ruslan yang mendapati Amir tengah terburu-buru pergi. "Melaut, Lan!" Kata Amir singkat sambil matanya menoleh sekali kearah Ruslan yang duduk setengah melamun diteras rumahnya. Ruslan yang nampak bengong itu seketika terperanjat melihat Amir yang terburu-buru menuju laut, "hei, Mir...mir...Amir..., jangan melaut, apa kamu tidak lihat itu?" kata Ruslan sambil bergegas menarik lengan Amir dan menunjuk kearah laut. "Ah, lepaskan, pake pegang-pegang tangan segala, aku tidak pergi melalut sekarang, aku tunggu sampai gelombang tinggi dan ngin kencang itu mereda!" kata Amir disusul dengan mengibaskan pergelangan tangannya yang tadi ditarik Ruslan. Kedua laki-laki itu terdiam sejenak. Mata keduanya kini sama-sama menatapi laut. Angin yang sejak tadi tak henti-hentinya menerpa wajah meraka betul-betul seperti telah menghanyutkan mereka pada sebuah pandangan kosong. Dalam keadaan hening, Amir mulai berkata-kata lagi, "bosan aku dirumah terus. Anak istriku sudah tiga hari ini tak dapat makan." Kata Amir mengiba. " Ah, sudahlah, semua nelayan disini memang sedang mengalami hal yang sama, Mir, bukan kamu saja. Sudahlah kita kerumahku, dirumahku masih ada sisa gula dan kopi cukup untuk kita ngopi berdua!" kata Ruslan membujuk Amir.

"Apa kamu belum lihat berita dikoran, sekarang lebih dari 35 ribu nelayan di daerah Jawa Barat seperti kita, terutama yang selama ini menggunakan perahu tempel atau kecil, sekarang ini telah berhenti melaut!" Kata Ruslan membuka pembicaraan setibanya diteras rumah. "Ah, Lan, ngomong apa sih kamu, kapan aku baca koran, aku sekarang sedang bingung memikirkan bagaimana keluargaku bisa makan?" Kata Amir menyela sambil dia duduk mengikuti Ruslan diteras rumah. "Ya, aku juga tidak sengaja baca koran, tadi di tempat pelelangan ikan, nelayan-nelayan disana sedang asyik mengerubuti berita tentang nasib mereka yang ditulis seorang wartawan yang meliput daerah ini kemarin. Isi beritanya, ya, itu tadi!" kata Ruslan menjelaskan. "Ya, apa pun isi berita itu, Lan, dan juga apa untungnya buat kamu baca berita itu. Tetap saja keluarga kita tak bisa makan, betul kan, Lan? Sekarang mana kopinya?" kata Amir menagih kopi yang dijanjikan Ruslan tadi. "he..he..he.. tenang saja, aku ambil dulu kedalam, o, ya, aku lupa gulanya aku ambil di rumah mertuaku sebentar, ya!" kata Ruslan bergegas dari tempat duduknya dan pergi kedalam rumah.

Tak terbayangkan lagi apa yang bisa Amir lakukan kalau saja gelombang laut dan dan angin kencang itu tak kunjung mereda. Tak ada lagi makanan yang bisa dimakan oleh keluarga. Amir tak punya barang berharga yang bisa ia dijual. Sebulan terakhir televisi 14 inchinya harus rela diambil seorang rentenir yang tak lagi bisa berkompromi tantang masalah hutangnya. Kini dia mulai berpikir lagi. Tekadnya untuk pergi melaut kini sudah muncul kembali. Amir bergegas menuju laut meninggalkan rumah Ruslan. Di dalam pandangannya kini tak nampak lagi ombak laut yang ganas dan angin yang kencang seperti yang tadi di ucapkan Ruslan ketika Ruslan berhasil menghalangi langkahnya menuju laut.

Tingginya gelombang laut dan angin kencang yang bisa saja muncul secara tiba-tiba seolah tak lagi jadi penghalang bagi Amir. Lelaki paruh baya itu nekad mendorong perahunya mengarungi laut. Dia tebar jala selebar-lebarnya di lautan. Wajah anak istrinya seketika itu pula membayang. Rintihan yang keluar dari bibir mereka menambah pedih jiwa Amir. "Hiyaaaa...!" teriakan itu meluncur bersama dengan menebarnya jaring yang dilemparkan tangannya yang kekar. Wajah itu semakin jelas membayang dalam kelopak mata Amir, "Bapak...bapak...!" teriakan sang anak semakin menyayat hatinya. Amir tebar lagi jalanya. "...Ikan..., kemarilah, jangn kau menjauh dari perahuku...!" Amir berteriak membelah kerasnya debur ombak yang konsisten menerpa perahu tempelnya.

"Amir, ikan itu tak hidup di pinggiran pantai, mereka hidup disini bersamaku, jika kau ingin mendapatkannya, kemarilah...!" sebuah sahutan merdu memanggil dan memanjakan telinga Amir. Suara debur ombak yang keras dan kencangnya angin laut yang menerpa perahunya tak memengaruhi suara sapaan itu. Amir semakin bersemangat memacu perahunya jauh ketengah lautan. "Ha..ha..ha..ikan...ikan yang banyak...!" Amir tertawa seperti orang yang kegirangan seraya terus mengejar datangnya suara sapaan itu sampai akhirnya dia hilang bersama perahunya ketengah samudera.

Suara tangis membahana di pinggir pantai membelah deru angin dan deburan ombak. Bapak...bapak...!" suara anak kecil memekik memangil bapaknya yang telah hilang ditelan gelombang laut yang mengganas itu. "Mas, kenapa kamu pergi melalut, ...aku masih tahan jika hanya untuk menahan tidak makan hari ini...!" seorang perempuan merintih sambil memeluk anak laki-lakinya yang kuyup oleh percikan air asin. Perlahan sebuah kapal penjaga pantai menepi disela-sela deburan ombak yang tiada henti. Kerumunan orang begitu gelisah menunggu tibanya kapal petugas itu. Setengah badan kapal petugas pantai akhirnya menempel dibibir pantai. Sejumlah orang segera memburu datangnya kapal. Bersama-sama mereka menarik laju kapal hingga benar-benar berada tepat di atas pasir pantai. Suara tangis yang tadi membahana semakin pecah ketika sesosok mayat berhasil diangkut keluar dari dalam kapal petugas. "Sudah kubilang kau jangan melaut, Mir!" Suara Ruslan menyela ditengah-tengah tangis dan derai air mata orang-orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun