Ketersedian lahan dan nilainya yang semakin tinggi masih menjadi masalah utama di perkotaan tak terkecuali di Boyolali. Di kabupaten dengan UMK sebesar Rp. 2.155.712,29 ini, permasalahan pemukiman kumuh yang tidak layak huni menjadi salah satu masalah krusial disana, terutama di daerah perkotaan.
Lahan (land) adalah tempat berlangsungnya berbagai kegiatan serta berdirinya berbagai struktur kebutuhan untuk menunjang kehidupan. Lahan merupakan asset ekonomi yang relatif tidak terpengaruh oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga. Semua kegiatan yang dilakukan manusia semestinya membutuhkan lahan, salah satunya sebagai tempat tinggal atau hunian.
Namun tidak semua masyarakat mampu merasakan tinggal di hunian yang layak. Menurut data pada tahun 2021 luas kawasan kumuh di boyolali mencapai 73,11 hektar, dengan konsentrasi tertinggi berada dikecamatan Banyudono sebesar 20,63 hektar, disusul oleh Mojosongo dengan luas 13,93 hektar, lalu Sawit 11.68 hektar, Boyolali 10,8 hektar, dan ngemplak 10,6 hektar serta Teras dengan luas 5,41 hektar.
Faktor Kondisi pelayanan air bersih yang belum merata dalam menjangkau masyarakat dan aktor kondisi Sanitasi lingkungan yang tidak layak masih menjadi masalah utama di kawasan kawasan kumuh di Boyolali. Padahal Kondisi sanitasi yang meliputi air bersih menjadi salah satu parameter penilaian rumah sehat.
Pemerintah harus mampu menyediakan hunian yang layak untuk warganya, hal ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah salah satu bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Boyolali berusaha untuk memberantas kawasan kawasan kumuh di wilayahnya dengan beberapa kebijakan. Salah satunya dengan merelokasi rumah rumah pada kawasan kumuh.
Pada tahun awal tahun 2022, Pemkab Boyolali berencana merelokasi 22 rumah di bantaran kali Desa Kalisari, Banyudono, terutama pemukiman kumuh dan hunian tidak bersertifikat. Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPKP) Hendrarto Setyo Wibowo mengatakan, program penuntasan daerah kumuh tidak hanya dengan rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH). Namun, juga relokasi rumah di kawasan kumuh. Sejak 2021, pihaknya melakukan relokasi bertahap pada puluhan kepala keluarga (KK) yang mendiami bantaran kali di Desa Kalisari, Banyudono.
Kawasan tersebut masuk pada kriteria kawasan kumuh karena mempertimbangkan faktor kesehatan dan keselamatan masyarakat. Apalagi saat musim penghujan dan potensi luapan kali. Selain itu, tanah yang ditempati juga ilegal alias tidak bersertifikat.
Pemkab lantas juga membantu memfasilitasi dengan mencarikan hunian baru. Pihaknya menjembatani antara pengembang perumahan dengan masyarakat. DPKP juga memberikan bantuan sebesar Rp 8,5 juta tiap KK. Bantuan tersebut dipergunakan sebagai down payment (DP) rumah dan uang balik nama.
Tahun 2022 DPKP merencanakan untuk melakukan relokasi kembali di kawasan tersebut. Karena masih ada 22 KK yang menempati bantaran kali tersebut. Menurut Hendrarto, mereka telah menempati kawasan tersebut puluhan tahun. Selain itu, DPKP akan melakukan penataan di Kecamatan Cepogo dan Selo. Kedua kecamatan ini diproyeksikan sebagai kawasan wisata dan bebas kumuh.
Selain progam tersebut, Pemerintah Kabupaten Boyolali juga menjalankan progam Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), Sebanyak tujuh desa di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, telah mengikuti program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dari pemerintah pusat untuk mempercepat penanganan pemukiman kumuh di Indonesia. Progam ini bertujuan untuk melakukan penanganan dalam hal pengelolaan sampah yang baik.
Kepala Perumahan dan Kawasan Pemukiman (DPKP) Kabupaten Boyolali H. Setyo Wibowo, mengatakan terdapat tujuh desa di Boyolali yang mendapat program Kotaku, yakni Desa Teras dan Doplang di Kecamatan Teras, Tegalrejo dan Jatirejo (Sawit), Kuwiran (Banyudono), Gagaksipat dan Giriroto (Ngemplak). Program Kotaku tersebut diserahkan kepada masyarakat untuk bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan sudah diserahkan kepada tujuh desa itu.
Salah satu pengaplikasian program Kotaku yakni Penyelenggaraan Tempat Pengolahan Sampah "Reduce-Reuse-Recycle" (TPS 3R). Pembangunan TPS 3R tersebut menelan anggaran sebesar Rp6 miliar untuk enam desa, Â dengan harapan baik sampah organik maupun yang anorganik kemudian akan diproses lebih lanjut.
Program Kotaku tersebut juga mendapat apresiasi oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Boyolali, Masruri. Menurut Sekda Kabupaten Boyolali Masruri program Kotaku masyarakat bisa memanfaatkan bersama-sama untuk diolah menjadi pupuk anorganik atau organik, Â sehingga, hasilnya bisa dijual untuk meningkatkan perekonomian.
Pada 2024, Pemkab Boyolali menargetkan zero kawasan kumuh dan rumah tak layak huni (RTLH). Hingga tahun ini jumlah RTLH mencapai 343.912 rumah. Kawaasan ini ditargetkan kelar tahun ini.
Masalah masalah diatas pastinya tidak lepas dengan faktor ekonomi, yakni kemiskinan. Pemkab lantas mengembangkan program monitoring center of development (MCD). Program ini melakukan pendataan hingga tingkat RT. Diharapkan intervensi yang diberikan pemerintah bisa tetap sasaran. Salah satunya terkait data kemiskinan. Data kependudukan Boyolali berdasarkan pencatatan sipil mencapai 1.083.524 jiwa. Sedangkan data BPS 1.070.247 jiwa dan MCD 1.055.725 jiwa atau sebanyak 353.852 kepala keluarga (KK). Selisih angka dengan capil sebanyak 27.799 jiwa meninggal dunia dan lainnya.
Ada 35 temuan kemiskinan ekstrem yang telah diintervensi. 73.391 warga miskin tercatat dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Rinciannya, 63.630 telah terintervensi bantuan DTKS dan 9.671 belum mendapat bantuan.
Ada 353.851 penduduk miskin. Terkait papan, ada yang mengontrak, tinggal di tempat orang lain, ataupun rumah sendiri dalam kondisi tak layak. Rinciannya 43.055 penduduk yang berlindung di tempat orang lain, 8.890 penduduk yang mengontrak sewa dan 301.906 tinggal di rumah sendiri. Sedangkan kondisi RTLH ada sebanyak 343.912 rumah.
RTLH sendiri terdiri dari berbagai kategori. Jenis lantai masih tanah atau sudah permanen. Lalu jenis dinding, apakah dari kayu murah, bambu, rumbia, tembok plester, hingga tembok tanpa plester. Kemudian adanya fasilitas mandi cuci kakus (MCK) dan juga ketersediaan instalasi fasilitas pengolahan air limbah (IPAL). Intervensi untuk rehabilitasi RTLH dilakukan tiap tahunnya.
Pada 2023, ada 4.925 unit RTLH menerima bantuan rehabilitasi. Terdiri dari seribu RTLH dari anggaran APBD, 200 dana alokasi khusus (DAK) PB K kumuh, 30 DAK PB K kumuh, 643 bantuan provinsi, 1.597 program penanggulangan kemiskinan ekstrem (PKE) dengan asumsi tahun lalu. Kemudian, 1.305 bantuan RTLH dari APBDes dan 150 RTLH bantuan Baznas. Selain RTLH, PR pemkab lainnya adalah penanganan kawasan kumuh.
Kebijakan kebijakan tersebut sangat diharapkan dapat menjangkau semua lini masyarakat yang berada dikawasan kumuh. Dan dapat merubah penghidupannya menjadi lebih baik dan lebih sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H