Mohon tunggu...
Tegar SaputriMega
Tegar SaputriMega Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cyber Law di Indonesia, Sudahkah Berjalan dengan Optimal?

22 Juni 2021   20:41 Diperbarui: 22 Juni 2021   21:08 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Cyber law ialah aspek hukum dengan ruang lingkup meliputi orang atau subjek hukum yang menggunakan teknologi elektronik atau internet dimulai dengan online dan masuk dalam dunia maya. Cyber law ini juga diartikan sebagai kumpulan peraturan perundang -- undangan yang mengatur aktivitas manusia dengan memanfaatkan teknologi informasi. 

Cyber law memiliki ruang lingkup yang luas mencakup segala sesuatu dalam dunia cyber atau dunia maya. Di Indonesia cyber law lebih dikenal dengan UU ITE ( Undang -- Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik ) yang diatur dalam Undang -- Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang -- Undang Nomor 11 tahun 2008 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Perubahan pada Undang -- Undang ini terjadi setelah banyak pihak -- pihak yang seharusnya tidak mendapat pidana justru terjerat pasal ini akibatnya Undang -- Undang ini menjadi sebuah polemik berkepanjangan, alih-alih melindungi semua lapisan masyarakat UU ini justru bagaikan bumerang bagi masyarakat biasa yang dengan mudahnya terjerat pasal. 

Banyak orang yang terjerat pasal UU ini berawal dari media sosial, mengingat ruang lingkup cyber law juga mengatur tentang defamation (pencemaran nama baik ) dan hate speech (penistaan, penghinaan, fitnah) yang pada akhirnya masyarakat menyebut pasal dalam Undang -- Undang ini adalah pasal karet yang artinya pasal ini tidak memiliki tolak ukur yang jelas. 

Sebagai contoh adalah kasus ujaran kebencian atau hate speech, pasal ini tidak memiliki tolak ukur yang pasti bagaimana sebuah pesan atau pernyataan bisa dikatakan ujaran kebencian, singkatnya kriteria hate speech ini tidak dijelaskan secara gamblang. Sehingga si pelapor (korban hate speech) melaporkan mendapat kebencian karena merasa dihina, tentu saja hal ini terasa kurang adil dan tidak jelas sebab tidak ada tolak ukur konkret yang dapat memastikan bahwa pernyataan tersebut merupakan ujaran kebencian. 

Contoh lain yang sering terjadi dan dapat kita saksikan dalam artikel berita adalah artis melaporkan ujaran kebencian yang ia terima dari salah satu orang melalui kolom komentar media sosial. Sebut saja artis X melaporkan A sebagai pelaku penghinaan, padahal bukan suatu yang baru bila kehidupan seorang artis selalu dipenuhi dengan komentar masyarakat atau disebut netizen. 

Ratusan bahkan ribuan komentar baik itu positif maupun negatif selalu membanjiri setiap postingan mereka, hal yang perlu kita soroti adalah jika ada beberapa ujaran kebencian mengapa hanya A yang dilaporkan oleh X? apakah tolak ukur yang menjadikan A layak mendapat hukuman pidana dibandingkan orang lain yang juga melontarkan komentar negatif. 

Hal - hal seperti inilah yang menjadikan polemik di tengah masyarakat, bukan salah sang pelapor ( korban pencemaran nama baik) tetapi bukan sepenuhnya benar jika menjerat orang lain dengan pasal-pasal Undang -- Undang karena menuntut seseorang harus dilandasi dengan bukti konkret sesuai aturan perundang -- undangan yang di sebut dengan jelas bukan hanya penilaian objektif salah satu pihak. 

Tidak hanya kasus para artis selaku publik figur tetapi juga para pejabat negara juga menjadi penyumbang sederet kasus UU ITE, uniknya tersangka yang dilaporkan adalah masyarakat awam yang tidak sepenuhnya mengerti bahkan tidak mengerti tentang UU ITE. Sehingga masyarakat seperti itu sangat mudah diseret ke ranah hukum mengingat pengetahuan mereka yang dangkal dan tidak memiliki kekuasaan berarti. 

Kasus seperti ini merupakah sebuah dilema besar dimana masyarakat yang sebenarnya hanya ingin menyampaikan keluh kesah mereka atas rasa kecewa pada kinerja pejabat pemerintah yang seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi tetapi karena pemilihan diksi yang dinilai tidak sopan justru menjadi bumerang dan berakhir pada meja hijau.

Terlepas dari pasal terkait pencemaran nama baik dan hate speech, Indonesia juga dihadapkan dengan kasus cyber crime berupa berita hoax, penipuan dan pencurian data yang semakin marak terjadi. Sumber masalah terbesar adalah berita hoax karena dari hoax merupakan berita bohong yang bisa berujung pada penipuan dan pencurian data. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun